TUGAS MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN“OTONOMI DAERAH”
Disusun
Oleh Kelompok 7:
Abdullah
Mujahid :
115040201111159
Afni
Aulia Rahma :
115040201111177
Afitania
Anggraini :
115040201111187
Adisti
Zahrotul Pradesta :
115040201111317
DosenPengampu
: Mohamad Anas, M. Phl
PROGRAM
STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS
PERTANIAN
UNIVERSITAS
BRAWIJAYA
MALANG
2012
A.
Pengertian, Tujuan, dan Dasar Yuridis Otonomi Daerah
Ø pengertianOtonom Daerah
Otonomi daerah secara definisi adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah tersebut menuurt cara
mereka sendiri yang dilihat berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan
aturan undang-undang yang berlaku. Otonom secara bahasa diartikan dengan
berdiri sendiri atau dengan pemerintahan sendiri. Sedangkan daerah adalah
sebuah wilayah atau teritorial pemerintah. Dengan demikian pengertian secara
istilah otonomi daerah adalah kewenangan atau kekuasaan pada suatu daerah yang
mengatur dan mengelola daerah tersebut dengan sendiri untuk mencapai tujuan
masyarakat daerah tersebut. Dan bila kita lihat lebih luas lagi adalah wewenag
pada suatu daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan daerah
masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan
keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan
tradisi adat istiadat daerah tersebut.[1]
http://cerdasinstitute.blogspot.com/2009/03/otonomi-daerah.html
Otonomi daerah dapat diartikan pelimpahan kewenangan dan tanggung
jawab dan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Otonomi daerah secara
sempit diartikan sebagai ”mandiri”, sedangkan dalam arti yang luas adalah
”berdaya”. Jadi otonomi daerah yang dimaksud disini adalah pemberian kewenangan
pemerintahan kepada pemerintah daerah untuk secara mandiri atau berdaya membuat
keputusan mengenai kepentingan daerahnya.
Ø Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah yang dikeluarkan tahun
1999 adalah disatu pihak membebaskan pemerintah pusat dari beban – beban yang
tidak perlu menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan mempelajari,
memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat
daripadanya. Dilain pihak, dengan desentralisasi daerah akan mengalami proses
pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan
terpacu, sehingga kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestiknya
semakin kuat.
Tujuan
pelaksanaan otonom daerah dapat pula diperhatikan dari beberapa hal :
1. Dari segi politik, penyelenggaraan otonomi daerah dimaksudkan
untuk mencegah penumpukan kekuasaan di pusat dan membangun masyarakat yang
madani, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan, dan melatih diri
dalam menggunakan hak – hak masing – masing.
2. Dari segi
pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah untuk mencapai pemerintahan yang
efisien.
3. Dari segi
sosial budaya, penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan agar perhatian lebih
fokus kepada daerah.
4. Dilihat dari segi ekonomi, otonomi daerah perlu diadakan agar
masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomidi daerah masing
– masing.
Singkatnya tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah mencegah
pemusatan kekuasaan, terciptanya pemerintahan yang efisien, dan partisipasi
masyarakat untuk membangun di daerahnya masing – masing.[2]
Ø Landasan Yuridis (Juridsche Grondslag)
Landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar kewenangan (bevoegdheid, competentie) pembuatan Peraturan Daerah. Apakah kewenangan
seseorang pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan atau tidak. Dasar hukum kewenangan membentuk Peraturan Daerah sangat
diperlukan. Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam
pembuatan peraturan karena akan menunjukkan, adanya kewenangan dari pembuat peraturan, adanya
kesesuaian bentuk dengan materi yang diatur, untuk menghindari
peraturan itu batal demi hukum dan agar tidak bertentangan dengan peraturan
perundangan yang lebih tinggi. Dengan demikian, landasan yuridis
merupakan dasar hukum ataupun legalitas landasan yang terdapat dalam ketentuan
hukum yang lebih tinggi derajatnya.[3]
B. KRITIK TERHADAP OTONOMI DAERAH
Dalam sepuluh tahun terakhir sejak diselenggarakan kebijakan tentang
desentralisasi yang bermula dari terbitnya Undang-Undang N0 22 tahun 1999
tentang Pemerintah Daerah, kritik terhadap pelaksanaan otonomi daerah tidak
pernah sepi.
Mantan menteri dalam negri dan Otonomi Daerah sekaligus penggagas
kebijakan kebijakan desentralisasi di Indonesia,Prof Dr Ryaas Rasyid mengakui
banyak kekecewaan terhadap pelaksanaan otonomi, tetapi belum sampai ada gerakan
untuk mengakhiri kebijakan ini dan kembali ke system sentralisasi.
“ Artinya secara nasional kita masih memegang kesepakatan agar pemerintahan daerah tetap dilaksanakan berdasarkan azas otonomi.
Bahwa disana sini ada ketidakpuasan dan kritik yang keras, hal itu adalah
kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Namun sebagian besar kritik dan
ketidakpuasan itu lebih mengarah pada implementasinya, bukan pada konsep dasar
dan filosofinya,” tutur Ryaas saat menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka
Sarwono Prawiroraharjo Memorial Lecture XI di lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia.
Menurut Ryaas pada hakekatnya kebijakan otonomi daerah merupakan
jawaban terhadap kepincangan politik,ekonomi pembangunan dan social budaya yang
menyertai hubungan pusat dan daerah sepanjang era orde baru. Keadaan yang
terbentuk melalui UU Nomor 5/1947 tentang pokok-pokok pemerintahan Daerah telah
menciptakan ketergantungan politik dan ekonomi daerah terhadap kekuasaan
pemerintah pusat. Kondisi ini menurut Ryaas pada gilirannya berdampak pada
terkikisnya identitas lokal berbagai daerah.
Sejalan dengan itu, ketiadaan ruang prakarsa dan kreatifitas daerah
yang dipatok melalui UU nomor 5/1974 dan cara implementasinya yang bersifat
otoriter telah memberi kontribusi yang signifikan bagi terbentuknya sifat pasif
masyarakat dalam merespon berbagai tantangan pembangunan,”kata Ryaas.
Dia mencontohkan masyarakat hanya memberi respon aktifitas kolektif
apabila ada program mobilisasi yang di prakarsai pemerintah pusat, seperti
keluarga berencana, bimbingan massal sector pertanian, dan koperasi unit desa.
“ Keseragaman pendekatan pemerintah dan pembangunan di seluruh
daerah mewarnai perjalanan pemerintah orde baru,” katanya. Ketika Orde Baru
runtuh, salah satu koreksi fundamental
yang dilakukan menurut Ryaas adalah hubungan pusat dengan daerah, dan system
pemerintahan daerah secara keseluruhan.
Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah. Ia melahirkan
banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang
muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus
selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai.
Beberapa persoalan itu adalah:
- Kewenangan yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan
yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik
antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan
kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah
kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi.
- Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat
pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik
investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya
transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat.
Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang
disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan
masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam
penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan
elit daripada kepentingan masyarakat.
- Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan
rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang
diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan
tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS
dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik.
Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah”
untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
- Politik Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah
yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang
sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik
horizontal yang bernuansa etnis
- Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan
elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi
daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi
daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara
memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra daerah”
dalam pemilihan kepala daerah.
- Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan
terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan
oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap
peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek
terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga
adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di
daerah.
- Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan
dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan
pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi
prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah
prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini
menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit
daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional secara
keseluruhan.
- Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata
menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD,
sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung
menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi
kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan.
Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di
masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung
juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.[4]
C. Studi Kasus Munculnya Etnosentris
ETNOSENTRISME, yaitu suatu kecendrungan yang menganggap nilai-nilai
dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, terbaik,
mutlak, dan dipergunakannya sebagai tolok ukur untuk menilai dan membedakannya
dengan kebudayaan lain.
Etnosentrisme nampaknya merupakan gejala sosial yang universal, dan
sikap yang demikian biasanya dilakukan secara tidak sadar. Dengan demikian
etnosentrisme merupakan kecendrungan tak sadar untuk menginterpretasikan atau
menilai kelompok lain dengan tolak ukur kebudayaannya sendiri. Sikap
etnosentrisme dalam tingkah laku berkomunikasi nampak canggung, tidak
luwes.Akibatnya etnosentrisme penampilan yang etnosentrik, dapat menjadi penyebab
utama kesalah pahaman dalam berkomunikasi.
Terdapat 2 jenis etnosentris yaitu: 1. etnosentris infleksibel yakni
suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya atau
tingkah laku orang lain, 2. Etnosentris fleksibel yakni suatu sikap yang
cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang
budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain. tidak selamanya
primordial merupakan tindakan salah. akan tetapi bisa disaja dinilai sebagai
sesuatu yang mesti dipertahankan. dalam sudut pandang ajaran (ritual) misalnya.
prilaku primordialisne merupakan unsur terpenting, saat memberlakukan ajaran
intinya.
Begini, fitrahnya manusia itu memang terlahir dengan kemampuan untuk
membedakan apa yang ada di sekitarnya. Justru akan membawa petaka ketika kita
tak mampu mencari persamaan dan perbedaan dengan orang lain di lingkungan
sosial. Kategorisasi sosial merupakan usaha fitrah manusia ketika harus
berinteraksi dengan sekian banyak orang.
Contoh paling mudah, coba kita ingat lagi momen ketika baru masuk
SMA atau kuliah.Dalam menghadapi lingkungan baru dengan banyak orang yang tidak
dikenal, kita cenderung mencari orang yang ‘dirasakan’ cocok dengan
kita.Mengapa saya memberikan tanda petik untuk kata dirasakan?Karena
hal itu sifatnya subjektif. Kecocokan itu bisa berasal dari obrolan yang
nyambung, kesamaan gaya berpakaian, atau kesamaan karena sama-sama dimarahi
oleh kakak kelas.
Saya ambil contoh kasus pada pilkada DKI Jakarta. Secara kasat mata,
kelihatannya proses memilih akan dilakukan oleh warga Jakarta. Tapi tunggu
dulu, sebenarnya justru para calon Gubernur yang memilih pemilihnya.Lho kok
bisa? Begini, dalam masa kampenye, para calon Gubernur sebenarnya sedang
melakukan kategorisasi sosial dengan cara melakukan identifikasi diri mereka
terhadap kelompok sosial yang ada di Jakarta. Bang Foke-Nara misalnya, mencoba
berpakaian gamis dan berpeci, agar stereotipenya bisa masuk pada alim ulama
yang agamis. Mereka mencoba memilih pemilih yang berbasis Islam. Sementara
Jokowi-Ahok, berbaju kotak-kotak dengan lengan digulung, untuk menciptakan
stereotipe tipe pemimpin pekerja keras dan pemimpin yang merakyat. Sasaran mereka
adalah kaum urban Jakarta.
Namun warga Jakarta tidak pasif menunggu ‘dipilih’ oleh sang
kandidat. Warga Jakarta tentu saja juga mencari informasi mengenai kompetensi
dan pengalaman sang kandidat. Warga yang menginginkan perubahan merasa lebih
cocok dengan pasangan Jokowi-Ahok.Sementara warga yang merasa Jakarta sudah
cukup baik sehingga tidak perlu ada perubahan signifikan, berafiliasi secara
ideologi dengan Foke-Nara. Pada tahap ini, muncul apa yang dinamakan ingroup dan outgruop dalam
istilah psikologi sosial. Salah satu ciri ingroup/outgroup adalah
membanding-bandingkan dan cenderung akan selalu menilai kelompoknya (ingroup)
lebih baik dari kelompok lain. Jika ada hal positif dari kelompok lain, mereka
justru menilai hal tersebut sebagai ancaman terhadap eksistensi kelompoknya
sehingga harus disaingi dan diusahakan agar menjadi milik kelompoknya.
Pembelaan terhadap kelompoknya bisa timbul dalam reaksi yang berlebihan.
Misal, keberhasilan Jokowi-Ahok dalam memimpin di kota sebelumnya
tentu menjadi ancaman untuk Foke-Nara dan pendukungnya. Jadi jangan heran jika
muncul berbagai macam informasi yang mencoba menepis keberhasilan tersebut.
Sebaliknya, pembelaan pendukung Jokowi-Ahok ketika kubunya diserang bisa jadi
terlihat berlebihan, dengan cara menjelek-jelekkan Foke secara personal dan
sebagainya. Isu perbedaan suku dan agama juga akan dihembuskan, karena kesamaan
agama dan suku masih dianggap oleh sebagian orang sebagai faktor kenyamanan
dalam berinteraksi sosial.
DAPUS
Kritik Otonomi Daerah Pada Implementasi ( Kompas, 22 Agustus 2011) Jakarta, Kompas.Com
Tim Peneliti Universitas Hasanuddin , 2009. Esensi Dan
Urgensitas Peraturan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah online http://www.scribd.com/document_ downloads/direct/51114746?extension=pdf&ft=1354719550<=
1354723160&uahk=JvPdQuywC5fpOTulIT/2d79xMT0
[3] Tim
Peneliti Universitas Hasanuddin , 2009. Esensi Dan Urgensitas Peraturan Daerah Dalam
Pelaksanaan Otonomi Daerah