Senin, 29 Februari 2016

TUGAS MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN “OTONOMI DAERAH”


TUGAS MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN“OTONOMI DAERAH”






Disusun Oleh Kelompok 7:
Abdullah Mujahid                          : 115040201111159
Afni Aulia Rahma                          : 115040201111177
Afitania Anggraini                         : 115040201111187
Adisti Zahrotul Pradesta                : 115040201111317

DosenPengampu : Mohamad Anas, M. Phl
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012

A.    Pengertian, Tujuan, dan Dasar Yuridis Otonomi Daerah
Ø  pengertianOtonom Daerah
Otonomi daerah secara definisi adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah tersebut menuurt cara mereka sendiri yang dilihat berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku. Otonom secara bahasa diartikan dengan berdiri sendiri atau dengan pemerintahan sendiri. Sedangkan daerah adalah sebuah wilayah atau teritorial pemerintah. Dengan demikian pengertian secara istilah otonomi daerah adalah kewenangan atau kekuasaan pada suatu daerah yang mengatur dan mengelola daerah tersebut dengan sendiri untuk mencapai tujuan masyarakat daerah tersebut. Dan bila kita lihat lebih luas lagi adalah wewenag pada suatu daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah tersebut.[1]
http://cerdasinstitute.blogspot.com/2009/03/otonomi-daerah.html

Otonomi daerah dapat diartikan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Otonomi daerah secara sempit diartikan sebagai ”mandiri”, sedangkan dalam arti yang luas adalah ”berdaya”. Jadi otonomi daerah yang dimaksud disini adalah pemberian kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah untuk secara mandiri atau berdaya membuat keputusan mengenai kepentingan daerahnya.

Ø  Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah yang dikeluarkan tahun 1999 adalah disatu pihak membebaskan pemerintah pusat dari beban – beban yang tidak perlu menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Dilain pihak, dengan desentralisasi daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestiknya semakin kuat.
Tujuan pelaksanaan otonom daerah dapat pula diperhatikan dari beberapa hal :
1. Dari segi politik, penyelenggaraan otonomi daerah dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan di pusat dan membangun masyarakat yang madani, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan, dan melatih diri dalam menggunakan hak – hak masing – masing.
2. Dari segi pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah untuk mencapai pemerintahan yang efisien.
3. Dari segi sosial budaya, penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan agar perhatian lebih fokus kepada daerah.
4. Dilihat dari segi ekonomi, otonomi daerah perlu diadakan agar masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomidi daerah masing – masing.
Singkatnya tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah mencegah pemusatan kekuasaan, terciptanya pemerintahan yang efisien, dan partisipasi masyarakat untuk membangun di daerahnya masing – masing.[2]
Ø  Landasan Yuridis (Juridsche Grondslag)     
Landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar  kewenangan (bevoegdheid,  competentie) pembuatan Peraturan Daerah.  Apakah kewenangan seseorang pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak.  Dasar hukum kewenangan membentuk Peraturan Daerah sangat diperlukan.  Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan  peraturan karena akan menunjukkan, adanya kewenangan dari pembuat  peraturan, adanya kesesuaian bentuk dengan materi yang diatur, untuk  menghindari peraturan itu batal demi hukum dan agar tidak bertentangan  dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Dengan demikian,  landasan yuridis merupakan dasar hukum ataupun legalitas landasan yang terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya.[3]


B. KRITIK TERHADAP OTONOMI DAERAH
Dalam sepuluh tahun terakhir sejak diselenggarakan kebijakan tentang desentralisasi yang bermula dari terbitnya Undang-Undang N0 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, kritik terhadap pelaksanaan otonomi daerah tidak pernah sepi.
Mantan menteri dalam negri dan Otonomi Daerah sekaligus penggagas kebijakan kebijakan desentralisasi di Indonesia,Prof Dr Ryaas Rasyid mengakui banyak kekecewaan terhadap pelaksanaan otonomi, tetapi belum sampai ada gerakan untuk mengakhiri kebijakan ini dan kembali ke system sentralisasi.
“ Artinya secara nasional kita masih memegang  kesepakatan agar pemerintahan daerah  tetap dilaksanakan berdasarkan azas otonomi. Bahwa disana sini ada ketidakpuasan dan kritik yang keras, hal itu adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Namun sebagian besar kritik dan ketidakpuasan itu lebih mengarah pada implementasinya, bukan pada konsep dasar dan filosofinya,” tutur Ryaas saat menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka Sarwono Prawiroraharjo Memorial Lecture XI di lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Menurut Ryaas pada hakekatnya kebijakan otonomi daerah merupakan jawaban terhadap kepincangan politik,ekonomi pembangunan dan social budaya yang menyertai hubungan pusat dan daerah sepanjang era orde baru. Keadaan yang terbentuk melalui UU Nomor 5/1947 tentang pokok-pokok pemerintahan Daerah telah menciptakan ketergantungan politik dan ekonomi daerah terhadap kekuasaan pemerintah pusat. Kondisi ini menurut Ryaas pada gilirannya berdampak pada terkikisnya identitas lokal berbagai daerah.
Sejalan dengan itu, ketiadaan ruang prakarsa dan kreatifitas daerah yang dipatok melalui UU nomor 5/1974 dan cara implementasinya yang bersifat otoriter telah memberi kontribusi yang signifikan bagi terbentuknya sifat pasif masyarakat dalam merespon berbagai tantangan pembangunan,”kata Ryaas.
Dia mencontohkan masyarakat hanya memberi respon aktifitas kolektif apabila ada program mobilisasi yang di prakarsai pemerintah pusat, seperti keluarga berencana, bimbingan massal sector pertanian, dan koperasi unit desa.
“ Keseragaman pendekatan pemerintah dan pembangunan di seluruh daerah mewarnai perjalanan pemerintah orde baru,” katanya. Ketika Orde Baru runtuh, salah satu  koreksi fundamental yang dilakukan menurut Ryaas adalah hubungan pusat dengan daerah, dan system pemerintahan daerah secara keseluruhan.
Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah.  Ia melahirkan banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:
  1. Kewenangan yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi.
  1. Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
  1. Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
  1. Politik Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis
  1. Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
  1. Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
  1. Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional  secara keseluruhan.
  1. Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.[4]

C. Studi Kasus Munculnya Etnosentris
ETNOSENTRISME, yaitu suatu kecendrungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, terbaik, mutlak, dan dipergunakannya sebagai tolok ukur untuk menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain.
Etnosentrisme nampaknya merupakan gejala sosial yang universal, dan sikap yang demikian biasanya dilakukan secara tidak sadar. Dengan demikian etnosentrisme merupakan kecendrungan tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok lain dengan tolak ukur kebudayaannya sendiri. Sikap etnosentrisme dalam tingkah laku berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes.Akibatnya etnosentrisme penampilan yang etnosentrik, dapat menjadi penyebab utama kesalah pahaman dalam berkomunikasi.
Terdapat 2 jenis etnosentris yaitu: 1. etnosentris infleksibel yakni suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya atau tingkah laku orang lain, 2. Etnosentris fleksibel yakni suatu sikap yang cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain. tidak selamanya primordial merupakan tindakan salah. akan tetapi bisa disaja dinilai sebagai sesuatu yang mesti dipertahankan. dalam sudut pandang ajaran (ritual) misalnya. prilaku primordialisne merupakan unsur terpenting, saat memberlakukan ajaran intinya.
Begini, fitrahnya manusia itu memang terlahir dengan kemampuan untuk membedakan apa yang ada di sekitarnya. Justru akan membawa petaka ketika kita tak mampu mencari persamaan dan perbedaan dengan orang lain di lingkungan sosial. Kategorisasi sosial merupakan usaha fitrah manusia ketika harus berinteraksi dengan sekian banyak orang.
Contoh paling mudah, coba kita ingat lagi momen ketika baru masuk SMA atau kuliah.Dalam menghadapi lingkungan baru dengan banyak orang yang tidak dikenal, kita cenderung mencari orang yang ‘dirasakan’ cocok dengan kita.Mengapa saya memberikan tanda petik untuk kata dirasakan?Karena hal itu sifatnya subjektif. Kecocokan itu bisa berasal dari obrolan yang nyambung, kesamaan gaya berpakaian, atau kesamaan karena sama-sama dimarahi oleh kakak kelas.
Saya ambil contoh kasus pada pilkada DKI Jakarta. Secara kasat mata, kelihatannya proses memilih akan dilakukan oleh warga Jakarta. Tapi tunggu dulu, sebenarnya justru para calon Gubernur yang memilih pemilihnya.Lho kok bisa? Begini, dalam masa kampenye, para calon Gubernur sebenarnya sedang melakukan kategorisasi sosial dengan cara melakukan identifikasi diri mereka terhadap kelompok sosial yang ada di Jakarta. Bang Foke-Nara misalnya, mencoba berpakaian gamis dan berpeci, agar stereotipenya bisa masuk pada alim ulama yang agamis. Mereka mencoba memilih pemilih yang berbasis Islam. Sementara Jokowi-Ahok, berbaju kotak-kotak dengan lengan digulung, untuk menciptakan stereotipe tipe pemimpin pekerja keras dan pemimpin yang merakyat. Sasaran mereka adalah kaum urban Jakarta.
Namun warga Jakarta tidak pasif menunggu ‘dipilih’ oleh sang kandidat. Warga Jakarta tentu saja juga mencari informasi mengenai kompetensi dan pengalaman sang kandidat. Warga yang menginginkan perubahan merasa lebih cocok dengan pasangan Jokowi-Ahok.Sementara warga yang merasa Jakarta sudah cukup baik sehingga tidak perlu ada perubahan signifikan, berafiliasi secara ideologi dengan Foke-Nara. Pada tahap ini, muncul apa yang dinamakan ingroup dan outgruop dalam istilah psikologi sosial. Salah satu ciri ingroup/outgroup adalah membanding-bandingkan dan cenderung akan selalu menilai kelompoknya (ingroup) lebih baik dari kelompok lain. Jika ada hal positif dari kelompok lain, mereka justru menilai hal tersebut sebagai ancaman terhadap eksistensi kelompoknya sehingga harus disaingi dan diusahakan agar menjadi milik kelompoknya. Pembelaan terhadap kelompoknya bisa timbul dalam reaksi yang berlebihan.
Misal, keberhasilan Jokowi-Ahok dalam memimpin di kota sebelumnya tentu menjadi ancaman untuk Foke-Nara dan pendukungnya. Jadi jangan heran jika muncul berbagai macam informasi yang mencoba menepis keberhasilan tersebut. Sebaliknya, pembelaan pendukung Jokowi-Ahok ketika kubunya diserang bisa jadi terlihat berlebihan, dengan cara menjelek-jelekkan Foke secara personal dan sebagainya. Isu perbedaan suku dan agama juga akan dihembuskan, karena kesamaan agama dan suku masih dianggap oleh sebagian orang sebagai faktor kenyamanan dalam berinteraksi sosial.

DAPUS
Kritik Otonomi Daerah Pada Implementasi ( Kompas, 22 Agustus 2011) Jakarta, Kompas.Com
Tim Peneliti Universitas Hasanuddin , 2009. Esensi Dan Urgensitas Peraturan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah online http://www.scribd.com/document_ downloads/direct/51114746?extension=pdf&ft=1354719550&lt= 1354723160&uahk=JvPdQuywC5fpOTulIT/2d79xMT0






[3] Tim Peneliti Universitas Hasanuddin , 2009. Esensi Dan Urgensitas Peraturan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah




[4] KRITIK OTONOMI DAERAH PADA IMPLEMENTASI ( KOMPAS, 22 agustus 2011) Jakarta, kompas.com

Minggu, 14 Februari 2016

TUGAS KULIAH HAMA DAN PENYAKIT PASCA PANEN
“Serangga yang mewakili skala rumah tangga”

OLEH:
  NAMA     : ABDULLAH MUJAHID
  NIM         : 115040201111159
  KELAS    : G

FAKULTAS PERTANIAN
MINAT HAMA PENYAKIT TUMBUHAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

Serangga yang mewakili skala rumah tangga
1. Kecoa jerman (German Cockroach) Blattella germanica (Linnaeus) [Orthopthera : Blatteliiadae]
Salah satu dari hama rumah tangga yang sangat sering berkelompok dan tersebar secara luas di daerah dingin dunia.