Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL. Tampilkan semua postingan

Jumat, 11 Oktober 2019

Catatan pengajian Al-hikam Alm. Romo KH. Djamaludin Achmad


15 Desember 2008 hikmah ke 1
“Sengaja Allah menjadikan Syaiton menjadi musuh kamu, supaya engkau jenuh pada saiton dan tidak mengikuti perkataannya dan kamu akan berlindung pada Allah dan tetap mengendalikan (menggerakkan) hawa nafsumu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk menahan hawa nafsumu”
Musuh asli manusia
1.       Musuh dari dalam : Nafsu (ada didalam badan, berjalan bersama aliran darah, bercampur dengan daging, nafsu selalu mengajak kepada ang jahat), Setan ang tidak kelihatan
2.       Musuh dari luar : Dunia (segala kenikmatan dunia dalam hal ini adalah maksiat), Syaitan yang berwujud manusia (manusia yang selalu mengajak untuk urusan dunia dan selalu mengarah kepada perbuatan ma’siat, seperti dalam surat an-nahl “Sungguh saitan tidak puna kemampuan untuk menggoda orang beriman kecuali yang beriman itu senang dengan kemaksiatan
Tiga orang yang tidak dapat masuk surga
1.       Orang yang menakitkan hati kedua orang tuana
2.       Orang yang minum-minuman keras yang tak bertobat sampai mati
3.       Orang yang jadi penghubung orang yang melakukan zina (germo)

Catatan pengajian Al-hikam Alm. Romo KH. Djamaludin Achmad


22 Desember 2008 hikmah no. 2
“siapa yang merasa dirinya tawadhu atau rendah diri melainkan dia adalah orang ang sombong, karena sifat tawadhu nya menganggap dirinya besar maka dia adalah orang yang sombong.
Tingkatan-tingkatan sombong
1.       Orang yang ibadah kepada Allah ingin bahagia didunia yaitu inging mendapat kemulyaan didunia
2.       Orang yang ibadah kepada Allah ingin menang di akhirat, masuk surga dan menjauhi neraka
3.       Orang yang ibadah kepada Allah kepingin ma’rifat kepada Allah
4.       Orang yang ibadah kepada Allah ingin menjadi hamba Allah yang sebenarnya (inilah yang disebut tawadhu

Catatan pengajian Al-hikam Alm. Romo KH. Djamaludin Achmad

02 Nopember 2009 Hikmah No 14,1
“ Maka ia memalingkan muka dari dunia ini dan mengabaikan dengan memejamkan mata dan berjalan terus, meletakkannya dibelakangnya, maka ia tidak menganggap tanah airnya sebagai tempat tinggal, maka ia (Aaqil) yang cahaya hatinya mencorong berpaling dari dunia ini dari mukanya (qolbu) ia memejamkan matanya (mata Hati) “
Ringkasan Penjelasan dari KH. M. Djamaluddin Achmad
Seseorang yang berjalan menuju Allah itu matanya sudah tertutup, tidak terpengaruh dengan dunia, maksudnya tertutup ialah mata hatinya menutup hawa nafsu, sehingga hawa nafsu tidak menguasai dirinya.
Orang-orang yang terpengaruh dunia itu biasanya kikir dan Akhirnya akan menuju Neraka, dan orang dermawan akan masuk surga kalau ia beribadah tidak memikirkan harta (Dunia)
Karena isi dunia sejatinya adalah Membahayakan, Hanya sekejab dan Penuh kebohongan (Ilusi Belaka)
Tanda-tanda Hati mencorong (cemerlang)
1.      Bersungguh-sungguh jikalau ibadah kepada Allah
2.     Tawakkal Ila Allah, yaitu Rajin, Bersungguh-sungguh, Pasrah, Jika dicontohkan misalnya, keberhasilan Menuntut Ilmu adalah hati harus pasrah kepada Allah maka akan sempurna menuntut ilmunya
3.       Meninggalkan dunia dari hatimu, Maksudnya adalah misal kita saat melakukan pekerjaan dunia dengan hati pasrah kepada Allah dan tidak terpengaruh olehnya dan hakekat dunia itu lebih remeh (lebih murah) dari sayap nyamuk
Dunia itu bagaikan tempat sampah dan kotoran, dunia itu bagaikan perempuan tuarenta yang memakai pakaian dan perhiasan yang bagus. Maka janganlah menganggap dunia sebagai tempat tinggal.
3 tingkatan tujuan manusia beribadah
1.       Hanya ingin lepas dan selamat dari siksa api Neraka (Tingkatan terendah)
2.       Mengingat Allah hanya bertujuan untuk memperoleh rahmat Allah dan ingin masuk surga (Tingkatan Menengah)
Mencapai Taqorrub Ilallah dan sudah wushul ilallah (Tingkatan Tertinggi)

Selasa, 11 April 2017

JELASKAN PERBEDAAN EN-SOI DAN POUR-SOI

JELASKAN PERBEDAAN EN-SOI DAN POUR-SOI
Paper Halaqoh
Disajikan pada 25 Pebruari 2017

PENGASUH:
Alm.  Prof. Dr. KH. Ahmad Mudlor, S.H.

Oleh :
Abdullah Mujahid
Mahasiswa Semester XII
Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya Malang



Halaqoh Ilmiah
LEMBAGA TINGGI PESANTREN LUHUR MALANG
Pebruari 2017



A.    PENDAHULUAN

Jika kita mendalami en-soi dan pour-soi maka kita akan bertemu dengan kajian keilmuan dari filsafat dan humaniora. En-soi dan pour-soi dapat kita temukan pada dalam karya utama Sartre, yakni L’être et le nêat (Being and Nothingness), atau dalam bahasa Indonesia yakni “Ada dan Tiada” istilah tersebut merupakan buah pemikiran seorang filusuf bernama Jean Paul Sartre, beliau adalah penganut filsafat eksistensialisme. Beliau juga dipengaruhi oleh corak filsafat rasionalisme dan idealisme dari deskartes, Kant, Hegel sampai fenomologi husserl serta Martin Heidegger. Apa yang dimaksud dengan En-soi dan pour soi, maksud dan tujuanya akan dibahas pada bab selanjutnya.

B.    PEMBAHASAN

1.    Tentang Jean Paul Sartre

Jean Paul Sartre adalah tokoh Eksistensialisme yang hidup pada abad ke-20an. Dia lahir di Paris, Perancis pada tanggal 21 Juni 1905, dan meninggal pada tanggal 15 April 1980. Pada bidang pendidikan ia termasuk orang yang cukup intelektual. Pada waktu di Jerman dia bertemu dan belajar pada Husserl, yang mana ini merupakan nilai sejarah tersendiri bagi perkembangan pemikiran Sartre di kemudian hari.
Sartre sejak kecil hidup dalam lingkungan religius. Tetapi, justru kebalikannya ia anti dengan agama dan Tuhan. Dia mengembangkan filsafatnya dengan corak ateis. Corak filsafat Sartre dipengaruhi oleh Rasionalisme dan Idealisme, yakni dari Descartes, Kant, Hegel sampai fenomenologi Husserl serta Martin Heidegger. Filsuf-filsuf tersebut sangat penting nilainya bagi Sartre, namun dalam tulisannya, ia kerap melontarkan kritik-kritik terhadap mereka. Husserl, Heidegger dan Hegel mempunyai peran penting dalam karya utama Sartre, yakni L’être et le nêat (Being and Nothingness), atau dalam bahasa Indonesia yakni “Ada dan Tiada” yang berusaha memahami eksistensi manusia.

2.    Perbedaan En-soi dan Pour-Soi
Dalam karya monumentalnya tentang L’être et le nêat (Being and Nothingness) Satre memdikotomikan status ontologis manusia menjadi dua atau dua cara manusia berada di dunia yaitu, etre-en-soi (being-in-itself) yang berarti: ada-dalam-dirinya. dan Etre-Pour-Soi (being-for-itself) yang berarti: ada-bagi-dirinya.
a.)    Etre-en-soi (being-in-itself) identik dengan dirinya
disebut sebagai Ada yang tidak sadar (non-conscious-being) sehingga ia tidak mampu memberi makna pada eksistensinya. tidak aktif dan tidak negatif. Etre-en-soi itu tidak memiliki masa depan dan tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Etre-en-soi merupakan suatu tipe eksistensi benda-benda yang tidak berkesadaran dan padat, artinya kesadaran yangmenjadi bentuk dari kehadiran diri terhadap diri sendiri Maka, etre-en-soi tidak pernah ada dan tidak pernah dapatmenempatkan dirinya sebagai ada bagi yang lain karena dia kontingen, tanpa dasar yang menopang. cara mudah memahaminya adalah Etre-en-soi adalah benda-benda, objek yang memiliki kesatuan dengan dirinya sendiri. Seperti contoh batu besar yang tetap berada pada tempatnya, tidak bertambah besar/kecil, tidak berpindah dan tidak berubah selamanya.
b.)    Etre-Pour-Soi (being-for-itself) ada-bagi-dirinya.
Lawan dari etre-en-soi menurut Sartre adalah Etre-Pour-Soi (being-for-itself) yang berarti ada bagi dirinya. Ada-bagi dirinya berkaitan dengan kesadaran bahwa manusia memiliki kesadaran akan dirinya bahwa dia ada. Kesadaran bahwa dirinya ada hendak mengatakan suatu cara berada manusia. Dengan kata lain, manusia hubungan dengan dirinya sendiri. Sehingga kesadaran manusia muncul seiring dengan hadirnya sesuatu (objek) yang ada di depannya. Namun, sesuatu yang disadari itu bukanlah dirinya. Ketidak identikan manusia dengan apa yang disadarinya menunjukkan bahwa kesadaran itu negativitas, yaitu suatu kesadaran yang menunjukkan bahwa Etre-Pour-Soi itu memiliki ciri “it is not what it is.”Artinya, ketidakidentikkan manusia dengan dirinya memiliki aspek kesadaran yang menidak. Cara mudah untuk memahami Etre-Pour-Soi adalah Ada yang berkesadaran. Bagi Sartre, manusia adalah makhluk yang membawa “ketiadaan”. Aktivitas Etre-Pour-Soi adalah menidakan apa yang ada. Sartre menyimpulkan bahwa ketiadaan muncul dengan menidakan dunia..

3.    Pengamalan En-soi dan Pour-Soi Dalam Kehidupan Manusia
Manusia sebagai en-soi adalah manusia yang tidak berkesadaran. Statusnya sama seperti kambing, sayuran, dan batu. Dia dilihat hanyalah seonggok benda saja. "Dia gelap bagi diri sendiri, karena padat dan penuh dengan diri sendiri". Apa yang ada adalah identik dengan dirinya sendiri, It is what it is. Keadan ini bersifat masif, tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, self-contained, dan tidak ada hubungan dengan apa pun juga . Menurut Sarte En-soi itu ada karena ada secara kebetulan, dan bukan ciptaan tuhan. Karena, andaikata diciptakan Tuhan maka, en-soi itu ada didalam pikiran Tuhan atau diluarnya. Bila didalam, maka belum tercipta, bila diluar maka ia bukan ciptaan karena berdiri sendiri.
Sedangkan dalam Etre-Pour-Soi manusia sudah mempunyai kesadaran tentang sesuatu diluar dirinya . Sadar akan adanya Subjek dan Objek, sadar bahwa ada jarak antara diri dan kesadaran. Dan sadar akan sesuatu, akan adanya jarak, bagi Sartre adalah meniadakan (neantiser) sesuatu. Sadar akan diri sendiri adalah meniadakan diri sendiri. Ketika menjadi pour-soi, pengada itu menjadi retak, karena ia mempunyai kesadaran.
Memang kesadaran menghubungkan subjek dengan yang bukan subyek (objek) tetapi juga memecah, meretakkan yang utuh menjadi banyak, yang padat menjadi tidak padat, yang sendiri menjadi tidak sendiri lagi. Itu semua ditiadakan (le Neant). Dia sekarang tidak identik dengan dirinya sendiri. A bukanlah A karena sadar tentang dirinya. Contohnya : ketika A sedang berbuat, dia sadar bahwa dia sedang mengadakan perubahan, peralihan, berproses untuk 'menjadi', dia sadar bahwa dia sedang melakukan peralihan itu. Peniadaan itu terjadi terus menerus, tidak pernah berhenti sebab manusia tidak pernah berhenti berbuat sesuatu. Dia selalu bukan dia, karena selalu meluncur ke dia. Dia selalu membelum. Jadi, proses itu tidak pernah selesai ,selalu meniadakan dirinya dan berusaha untuk menjadi dia yang lain. Justru karena kebebasannya bereksistensi itu dipandang sebagai sebuah kutukan, hukuman, dan keterpaksaan.
Etre-Pour-Soi selalu ingin menjadi etre-en-soi-pour-soi, sekaligus keduanya, dan itu tidak akan pernah terjadi (kalaupun ada berarti itu milik Tuhan, sesuatu yang ditolak Sartre, karena tidak mungkin en-soi dan pour-soi bersatu). Itulah kesia-siaan, dan itulah eksistensi manusia. Manusia selalu meniada dan tidak bisa tidak harus terus meniada. Tidak ada aspek membangun,tidak ada ketetapan. Proses itu adalah suatu kesia-siaan karena tidak mungkin bisa menyatu antara en-soi dan pur-soi, dan proses itu berhenti ketika kematian tiba.
Tujuan dari pengamalan tersebut dalam sisi positifnya adalah kesadaran dan kebebasan terletak pada eksistensi manusia, keberadaan manusia yang sejati, yang merupakan produk dari perbuatan-perbuatan bebas manusia. Sartre mengungkapkan bahwa menjadi diri kita sendiri hanya mungkin jika kita memilih sendiri dan menentukan sendiri bentuk eksistensi kita. Walaupun kesadaran atau kebebasan tersebut sepertinya dibebankan pada manusia yang bukan karena pilihannya, manusia tetap memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk mengubah situasi tersebut melalui perbuatan dan usaha yang dipilih dan ditentukan oleh diri manusia sendiri. Situasi yang dibebankan kepada manusia, misalnya : berupa lingkungan yang buruk dan keras, cacat tubuh, atau pun peperangan, justru menjadi prasyarat bagi kebebasan. Kebebasan tidak mungkin terwujud tanpa situasi-situasi yang sudah tersedia atau situasi-situasi yang tidak dipilihnya sendiri.
Memang filsafat Sartre penuh oleh dilema. Sebenarnya kekacauan filsafat Sartre disebabkan oleh pandangannya yang ateis. Apa yang tidak dapat diselesaikannya itu sesungguhnya dapat diselesaikan dalam teisme. Pada akhir uraiannya tentang Sartre, Drijarkara menulis sebagai berikut (Drijakara:89):
“Bagaimanapun juga, tampaklah dalam uraian diatas, bahwa pikiran Sartre bentrokan dengan realitas. Kita akui bahwa buah pikiram Sartre memuat pandangan-pandangan yang bagus. Akan tetapi dasar-dasarnya tidak tahan uji.”

C.    KESIMPULAN

En-soi dan pour-soi terdapat dalam karya utama Jean Paul Sartre, yakni L’être et le nêat (Being and Nothingness) Ada dan Tiada. Jean Paul Sartre adalah tokoh Eksistensialisme yang hidup pada abad ke-20an. etre-en-soi (being-in-itself) yang berarti: ada-dalam-dirinya dapat dicontohkan sebagai benda mati yang tetap dan tidak berubah, sedangkan Etre-Pour-Soi (being-for-itself) yang berarti: ada-bagi-dirinya dapat dikatakan sebagai kesadaran manusia mengenai adanya dirinya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Edwards, Paul (ed). The Encyclopedia of Philosophy (Vol 5-8). MacMillan Publishing Co : New York, 1972.
Hamersma, Herry. 1983. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern.Jakarta: Gramedia
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius:  Yogyakarta,1980.
Najwa, Nina., 2015. Eksistensi Kesadaran Manusia, Jean Paul Sartre. Kompasiana http://www.kompasiana.com/eksistensi-kesadaran-manusia-jean-paul-sarte.html di unduh pada 23 pebruari 2017
Sartre, Jean-Paul., 1992 Being and Nothingness (the Principle text of modern existentialism). Philosophical Library, Washington:.
_______________, 2002, Eksistensialisme dan Humanisme, Pustaka Pelajar.



BAGAIMANA PEMIKIRAN AL MATURIDI TENTANG MELIHAT TUHAN

BAGAIMANA PEMIKIRAN AL MATURIDI TENTANG MELIHAT TUHAN
Halaqoh Ilmiah
Dipresentasikan pada tanggal 27 Desember 2016

Pengasuh:
Alm. Prof. DR. Kyai H. Achmad Mudlor, SH.
Oleh:
Abdullah Mujahid
Mahasiswa Semester XI
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Program Studi Agroekoteknologi
Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya



 LEMBAGA TINGGI PESANTREN LUHUR MALANG DESEMBER 2016


A.    PENDAHULUAN
Kita sebagai penganut Ahl as-Sunnah wa a-Jama’ah sudah semestinya tau dalam berakidah mengikuti imam Abu hasan Al-Asy’ari dan imam Abu Manshur al-Maturidi.Teologi sebagai sebuah pembahasan ajaran-ajaran yang mendasar dari suatu agama dimana termasuk mengembangkan paham tentang Tuhan. Islam sebagai agama tentunya tidak lepas dari adanya teologi.
Pemikiran Asy’ariyah berhadapan langsung dengan keompok Mu’tazilah, tapi Maturidiyah menghadapi berbagai kelompok yang cukup banyak. Di antara kelompok yang muncu pada waktu itu adalah Mu’tazilah, Mujassimah, Qaramithah, Jahmiyah. Juga kelompok agama lain, seperti Yahudi, Majusi dan Nasranidalam jumlah yang besar. Pada paper ini akan dibahas menegenai bagaimana pemikiran Al-Maturidi tentang melihat tuhan.


B.    PEMBAHASAN
1.    Biografi Al-Maturidy
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Abu Mansur Al-Maturidi, ia di lahirkan di sebuah kota yang bernama “maturid” didaerah Samarqand, Asia tengah (termasuk daerah Uzbekistan). Ia diperkirakan lahir pada tahun 270 H. Ia memiliki faham (I’tiqad) sama atau hampir sama dengan Imam al-Asy’ari, ia wafat di desa Maturidy 10 tahun sesudah wafatnya Imam Abu Hasan al-Asy’ari yaitu pada tahun 333 H/ 944 M beliau berjasa besar dalam mengumpulkan, memperinci, dan mempertahankan I’tiqad Ahlussunnah wal-Jama’ah itu sebagaimananya dengan Imam al-Asy’ari.
2.    Pemikiran Al-Maturidy
Dunia Islam dahulu sampai sekarang menganggap kedua Imam ini adalah pembangun manhaj Ahlussunnah wal-Jama’ah. Berkata Sayid az-Zabidi, pengarang kitab “Ittikhafus sadatul Muttaqien” yaitu kitab yang mensyarahi kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Ghazali;

إذ أطلق أهل السنة والجماعة فالمرادبهم الأشاعرة والماتريدية
اتحاف سادات المتقينج2ص

6
“Apabila Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksudkan adalah pengikut madzhab al-Asy‟ari dan al-Maturidi.”[15]
Selain itu, aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis di mana yang berada di barisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualis di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabillah (para pengikut Imam Ibnu Hambal). aliran Asy’ariyah di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyah di Samarkand dan di daerah-daerah di seberang sungai (Oxus-pen). Kedua aliran ini bisa hidup dalam lingkungan yang kompleks dan membentuk satu mazhab. Nampak jelas bahwa perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah Fiqh kedua aliran ini merupakan faktor pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang Hanafiah (para pengikut Imam Hanafi) membentengi aliran Maturidiyah, dan para pengikut Imam al-Syafi’i dan Imam al-Malik mendukung kaum Asy’ariyah.
Seperti yang kita ketahui, al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah (aliran teologi yang amat mementingkan akal dan dalam memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah kemampuan akal manusia. Maka dari itu, Al-Maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kerana itu juga, aliran Maturiyah sering disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”.[18]
Al Maturidi memiliki banyak buku termasuk, “Ushul Fiqh”, “Tafsir”, “Takwil” yang dia gunakan untuk menyerang Jahmiyah dan salah satu bukunya yang terkenal yaitu “Kitab al-Tauhid”. Dalam “Kitab al-Tauhid”, tidak disebutkan tentang Tauhid Uluhiyah, pembicarannya murni tentang Tauhid Rububiyah dan sesuatu yang berhubungan kepada Tanzih
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal dalam hal ini ia sama dengan Al-asy’ari. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut.
Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya. Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam,[21] yaitu:
1.    Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu
2.    Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu
3.    Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari. Pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan aliran al-Asy'ariyah dalam merad pendapat-pendapat Mu'tazilah.Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan ajaran mereka atau dalam masalah cabang.
Pemikiran-pemikiran al Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.

3.    Tentang Melihat Tuhan  (Ru’yatullah)
Maturidi menetapkan bahwa tuhan bisa dilihat mata kepala manusia nanti di akhirat, namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.karena ia mempunyai wujud Ru’yatullah dihari akhirat termasuk perihal kiamat, hanya Allah yang mengetahui perihal kiamat. Kita ‘kata maturidi’ tidak mengetahuinya kecuali ibarat yang terdapat dalam nash. Tidak perlu kita menanyakan bagaimana caranya nanti melihat Tuhan itu. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur’an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23.



Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannyalah mereka melihat. [QS. Al-Qiyamah(75:22-23)]
Sedangkan dalam melihat Tuhan di alam dunia, pendapat Al-Maturidi tidak jauh beda dengan Asy’ari bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah. Al-Maturidi juga mengedepankan Akal dan rasio karena akal dapat membantu manusia untuk memahami adanya Allah/keesaan Allah, sifat dan dzat Allah
Dalam Sifat tuhan faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.


C.    KESIMPULAN
Abu Mansur Al-Maturidi adalah pencetus aliran Al-Maturidiah pembangun manhaj Ahlussunnah wal-Jama’ah bersama Abu Hasan Al-Asy’ari. Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam pemikirannya tuhan bisa dilihat mata kepala manusia nanti di akhirat sedangkan di dunia kita melihat tuhan sifat-sifatNya.




DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Cet. X; Jakarta:Bulan Bintang, 1993, h. 70.
Anonim. 2016. .http://abasawatawalla01.blogspot.com/2013/06/seajarah-dan-pemikiran-al-asy-dan-l.html/ diakses 25 desember pukul 08.03 WIB
Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafat al-Islamiyah, terj. Yudian Wahyudi Asmin dengan judul, Aliran dan Teori Filsafat Islam Cet.1 ; Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
Rozak, Abdul & Anwar, Rohison, Ilmu Kalam. CV Pustaka Setia, Bandung, 2009
Sahilun A. Nasir, PemikiranKalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, danPerkembangannya, Jakarta: RajagrafindoPersada, 2010, h. 187

Sabtu, 28 Mei 2016

Catatan pengajian Al-hikam Alm. Romo KH. Djamaludin Achmad Tentang Hakekat Puasa

Penjelasan Tentang Hakekat Puasa

Mungkin akan timbul satu pertanyaan dalam benak kita mengapa kita di wajibkan puasa seperti pada QS.Al Baqarah Ayat 183


Jawabannya adalah agar manusia menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Sebagai mana firman Allah bahwa puasa adalah ibadah yang memiliki keistimewaan di bandingkan ibadah yang lain yaitu bahwa puasa hanya milik Allah oleh karena itu Allah sendirilah yang mengetahui seberapa besar ganjaran yang di peroleh hamba yang berpuasa.


Pandangan  puasa dalam 3 aspek yaitu.
1.      Secara Syariat: meninggalkan makan, minum dan bersetubuh.
2.      Secara Thoriqat: menjaga semua anggota tubuh dari maksiat.
3.      Secara Hakiqat: menjaga hati jangan sampai suka/cinta pada selain allah.
Karena tujuan dari puasa adalah taqwa kepada Allah maka kita akan mengulas sedikit tentang faedahnya Taqwa di antaranya yaitu:
1.      Selalu di sertai Allah (dijaga Imannya, Hatinya Dll.) Subhanallah Yach… Hehehe.
2.      Jika kita bertaqwa insya Allah kita akan di berikan Ilmu Laduni oleh Allah… Aamiin. ^_^
3.      Selalu di beri jalan keluar oleh Allah.
4.      Akan di beri rizki dari arah yang tidak di duga-duga.
5.      Di beri ke mudahan oleh Allah
6.      Dijanjikan Masuk Surga.. Aamiin.
7.      Di jadikan orang yang mulia di Dunia maupun Akhirat.

Nah ternyata kalau kita bertaqwa akan memberikan faedah yang sangat luar biasa bagi kita nah sekarang masuk ke syarat-syarat agar menjadi orang yang bertaqwa ketika puasa yaitu
1.      Akalnya bias mengalahkan nafsu
Merupakan anugerah yang tak terhingga yang telah Allah berikan kepada kita karena kita di beri apa yang Allah tidak berikan pada makhluk lain yaitu Akal dan nafsu. Nafsu selalu mengajak kepada kita menuruti sesuatu yang di larang Allah dan Akal kita sering kalah dengan nafsu  jadi kita harus sebisa mungkin mengalahkan nafsu tersebut. Malaikat tidak bias di sebut ahli taqwa karena hanya di beri akal saja sehingga ia hanya menuruti perintah allah. Jika kita berhasil mengalahkan nafsu maka otomatis kita lebih mulia dari pada malaikat. Dan kalau kita sedang puasa akal bias mengalah kan nafsu sebab akal kita buat unuk kebaikan.
2.      Menghindari perkara yang bias meleburkan pahala puasa yaitu: Bohong, Gosip, Adu Domba, Sumpah Palsu dan Syahwat
3.      Suci secara syari’at: yaitu menjaga diri dari hadast kecil maupun besar juga najis
4.      Suci secara thoriqat: yaitu membersihkan diri dari kesenangan hati seperti senang dirinya berbuat kesalahan, senang di puji, senang menjadi pemimpin dll.
5.      Suci secara Haqiqat yaitu membersihkan hati dari sifat senang selain Allah

Kelihatannya untuk melakukan semua itu sangat sulit termasuk yang nulis tulisan ini hehe. Namun bukan tidak mungkin kita tidak bias melakukannya. Jangan pernah putus asa berdoa, meminta ampunan, rahmat dan kasih sayangNya.
Mungkin sedikit ilmu ini dapat member manfaat kepada kita semua. Aamiin. Mohon maaf jika dalam tulisan ini terdapat kesalahan
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Whritted by
El Baaz
Sumber: Pengajian Al Hikam oleh KH. Djamaludin Achmad PP. Bahrul ulum Tambakberas Jombang 27-08-2007

Minggu, 14 Februari 2016

TUGAS KULIAH HAMA DAN PENYAKIT PASCA PANEN
“Serangga yang mewakili skala rumah tangga”

OLEH:
  NAMA     : ABDULLAH MUJAHID
  NIM         : 115040201111159
  KELAS    : G

FAKULTAS PERTANIAN
MINAT HAMA PENYAKIT TUMBUHAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

Serangga yang mewakili skala rumah tangga
1. Kecoa jerman (German Cockroach) Blattella germanica (Linnaeus) [Orthopthera : Blatteliiadae]
Salah satu dari hama rumah tangga yang sangat sering berkelompok dan tersebar secara luas di daerah dingin dunia.



Jumat, 08 Januari 2016

HIPNOTIS DAN MANFAATNYA


Dipresentasikan pada tanggal 21 Mei 2015

Pengasuh:
Alm. Prof. Dr. Kyai H. Achmad Mudlor, S.H

Oleh:
Abdullah Mujahid




Banyak orang yang menganggap hipnotis sebagai hal mistis dan sering dihubungkan dengan kejahatan seperti pelet ataupun gendam menurut sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun sebenarnya hipnotis adalah ilmu pengatahuan yang telah diakui oleh World Health Organization (WHO) sebagai cara pengobatan yang aman. Di negara maju seperti Amerika dan Inggris, sudah banyak dokter, psikiater, psikolog, maupun hypnotherapist yang menggunakan hipnotis untuk mengatasi masalah fisik maupun psikologis.
Hipnotis bukanlah hal yang bersifat supranatural. Hipnotis tidak mungkin bisa digunakan untuk kejahatan karena hipnotis bukan ilmu untuk menguasai orang lain, Baca selengkapnya Disini



Kamis, 07 Januari 2016

PERTUMBUHAN FASE-FASE NAFSU SEKSUAL PADA MANUSIA


PERTUMBUHAN FASE-FASE NAFSU SEKSUAL PADA MANUSIA


Halaqoh Ilmiah

Dipresentasikan pada tanggal 18 Agustus 2015


Pengasuh:

Alm. Prof. DR. Kyai H. Achmad Mudlor, SH.


Oleh:

Abdullah Mujahid



Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan

Program Studi Agroekoteknologi

Fakultas Pertanian

Universitas Brawijaya




LEMBAGA TINGGI PESANTREN LUHUR MALANG

Agustus 2015



A.    PENDAHULUAN

Setiap individu manusia pasti akan melalui tahapan-tahapan psikologis yang harus dilalui. Antara lain fase psikoseksual yaitu tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan fungsi seksual yang dapat mempengaruhi perkembangan psikologis individu tersebut. Pada umumnya setiap individu akan mengalami fase/tahap psikoseksual dalam tiap tahap perkembangan umurnya (0-18 tahun). Bila individu tersebut gagal melewati suatu masa yang harus dilaluinya sesuai dengan tahap perkembangannya maka akan terjadi gangguan pada diri orang tersebut.

Pada kesempatan ini kita akan membahas mengenai fase-fase psikoseksual yang pasti dilalui setiap individu sesuai dengan tahap perkembangannya.



B.     PEMBAHASAN

fase-fase psikoseksual yang pasti dilalui setiap individu sesuai dengan tahap perkembangannya. Fase-fase tersebut adalah:


1.      Fase oral/mulut (0-18 bulan)

Yaitu fase pertama yang harus dilalui oleh seorang anak sejak dilahirkan. Pada bulan-bulan pertama kehidupan, bayi manusia lebih tidak berdaya dibandingkan dengan bayi binatang menyusui lainnya, dan ketidakberdayaan ini berlangsung lebih lama daripada spesies lain.

Pada mulanya bayi tidak dapat membedakan antara bibirnya dengan puting susu ibunya. Bayi hanya sadar akan kebutuhannya sendiri dan pada waktu menunggu terpenuhi kebutuhannya, bayi menjadi frustasi dan baru sadar akan adanya obyek pemuas pada waktu kebutuhannya terpenuhi.

Reaksi primitif pertama terhadap obyek yaitu bayi berusaha memasukkan semua benda yang dipegangnya ke mulut. Bayi merasa bahwa mulut adalah tempat pemuasan (oral gratification). Rasa lapar dan haus terpenuhi dengan menghisap puting susu ibunya. Kebutuhan-kebutuhan, persepsi-persepsi dan cara ekspresi bayi secara primer dipusatkan di mulut, bibir, lidah dan organ lain yang berhubungan dengan daerah mulut.

Dorongan oral terdiri dari 2 komponen yaitu dorongan libido dan dorongan agresif. Dorongan libido yaitu dorongan seksual pada anak, yang berbeda dengan libido pada orang dewasa. Dorongan libido merupakan dorongan primer dalam kehidupan yang merupakan sumber energi dari ego dalam mengadakan hubungan dengan lingkungan, sehingga memungkinkan pertumbuhan ego. Ketegangan oral akan membawa pada pencarian kepuasan oral yang ditandai dengan diamnya bayi pada akhir menyusui. Sedangkan dorongan agresif dapat terlihat dalam perilaku menggigit, mengunyah, meludah, dan menangis.

Jika pada fase oral ini bayi merasakan kekecewaan yang mendalam, hal ini akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya. Pada waktu dewasa akan mengalami gangguan tingkah laku seksual misalnya kepribadian oral sadistik yang dimanifestasikan dalam penyimpangan seksual sadisme, yaitu kepuasan seks yang dicapai bila didahului atau disertai tindakan yang menyakitkan. Sebaliknya, bila bayi mendapat kepuasan yang berlebihan maka dalam perkembangan selanjutnya dapat menjadi sangat optimis, narcistik (cinta diri sendiri), dan selalu menuntut.


2.      Fase Anal (1 1/2 - 3 tahun)


Fase ini ditandai dengan matangnya syaraf-syaraf otot sfingter anus sehingga anak mulai dapat mengendalikan beraknya. Pada fase ini kepuasan dan kenikmatan anak terletak pada anus. Kenikmatan didapatkan pada waktu menahan berak. Kenikmatan lenyap setelah berak selesai.

Jika kenikmatan yang sebenarnya diperoleh anak dalam fase ini ternyata diganggu oleh orangtuanya dengan mengatakan bahwa hasil produksinya kotor, jijik dan sebagainya, bahkan jika disertai dengan kemarahan atau bahkan ancaman yang dapat menimbulkan kecemasan, maka hal ini dapat mengganggu perkembangan kepribadian anak. Dimana pada perkembangan seksualitas deawasa anak merasa jijik (kotor) terhadap alat kelaminnya sendiri dan tidak dapat menikmati hubungan seksual dengan partnernya.

Oleh karena itu sikap orangtua yang benar yaitu mengusahakan agar anak merasa bahwa alat kelamin dan anus serta kotoran yang dikeluarkannya adalah sesuatu yang biasa (wajar) dan bukan sesuatu yang menjijikkan. Hal ini penting, karena akan mempengaruhi pandangannya terhadap seks nantinya. Jika terjadi hambatan pada fase anal, anak dapat mengembangkan sifat-sifat tidak konsisten, kerapian, keras kepala, kesengajaan, kekikiran yang merupakan karakter anal yang berasal dari sisa-sisa fungsi anal. Jika pertahanan terhadap sifat-sifat anal kurang efektif, karakter anal menjadi ambivalensi (ragu-ragu) berlebihan, kurang rapi, suka menentang, kasar dan cenderung sadomsokistik (dorongan untuk menyakiti dan disakiti). Karakter anal yang khas terlihat pada penderita obsesif kompulsif. Penyelesaian fase anal yang berhasil, menyiapkan dasar untuk perkembangan kemandirian, kebebasan, kemampuan untuk menentukan perilaku sendiri tanpa rasa malu dan ragu-ragu, kemampuan untuk menginginkan kerjasama yang baik tanpa perasaan rendah diri.


3. Fase Uretral

Pada fase ini merupakan perpindahan dari fase anal ke fase phallus. Erotik uretral mengacu pada kenikmatan dalam pengeluaran dan penahanan air seni seperti pada fase anal. Jika fase uretral tidak dapat diselesaikan dengan baik, anak akan mengembangkan sifat uretral yang menonjol yaitu persaingan dan ambisi sebagai akibat timbulnya rasa malu karena kehilangan kontrol terhadap uretra. Jika fase ini dapat diselesaikan dengan baik, maka anak akan mengembangkan persaingan sehat, yang menimbulkan rasa bangga akan kemampuan diri. Anak laki-laki meniru dan membandingkan dengan ayahnya. Penyelesaian konflik uretra merupakan awal dari identitas gender dan identifikasi selanjutnya.


4.      Fase Phallus (3-5 tahun)


 Pada fase ini anak mula mengerti bahwa kelaminnya berbeda dengan kakak, adik atau temannya. Anak mulai merasakan bahwa kelaminnya merupakan tempat yang memberikan kenikmatan ketika ia mempermainkan bagian tersebut. Tetapi orangtua sering marah bahkan mengeluarkan ancaman bila melihat anaknya memegang atau mempermainkan kelaminnya.

Pada fase ini, anak laki-laki dapat timbul rasa takut bahwa penisnya akan dipotong (dikebiri). Ketakutan yang berlebihan tersebut dapat menjadi dasar penyebab gangguan seksual seperti impotensi primer dan homoseksual. Pada fase ini muncul rasa erotik anak terhadap orangtua dari jenis kelamin yang berbeda. Rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang berhubungan dengan seks tampak dalam tingkah laku anak, misalnya membuka rok ibunya, meraba buah dada atau alat kelamin orangtuanya.

 Daya erotik anak laki-laki terhadap ibunya, disertai rasa cemburu terhadap ayahnya, dan keinginan untuk mengganti posisi ayah disamping ibu, disebut kompleks Oedipus. Untuk anak wanita disebut kompleks Elektra. Kompleks elektra biasanya disertai rasa rendah diri karena tidak mempunyai kelamin seperti anak laki-laki dan merasa takut jika terjadi kerusakan pada alat kelaminnya. Bila kompleks oedipus/elektra tidak dapat diselesaikan dengan baik, dapat menyebabkan gangguan emosi pada kemudian hari.


5.      Fase Latensi (5/6 tahun-11/13 tahun)


Pada fase ini semua aktifitas dan fantasi seksual seakan-akan tertekan, karena perhatian anak lebih tertuju pada hal-hal di luar rumah. Tetapi keingin-tahuan tentang seksualitas tetap berlanjut. Dari teman-teman sejenisnya anak-anak juga menerima informasi tentang seksualitas yang sering menyesatkan. Keterbukaan dengan orangtua dapat meluruskan informasi yang salah dan menyesatkan itu. Pada fase ini dapat terjadi gangguan hubungan homoseksual pada laki-laki maupun wanita. Kegagalan dalam fase ini mengakibatkan kurang berkembangnya kontrol diri sehingga anak gagal mengalihkan energinya secara efisien pada minat belajar dan pengembangan ketrampilan.


6.      Fase genital (11/13 tahun-Dewasa)


Pada fase ini, proses perkembangan psikoseksual mencapai "titik akhir". Organ-organ seksual mulai aktif sejalan denga mulai berfungsinya hormon-hormon seksual, sehingga pada saat ini terjadi perubahan fisik dan psikis. Secara fisik, perubahan yang paling nyata adalah pertumbuhan tulang dan perkembangan organ seks serta tanda-tanda seks sekunder.

Remaja putri mencapai kecepatan pertumbuhan maksimal pada usia sekitar 12- 13 tahun, sedangkan remaja putra sekitar 14-15 tahun. Akibat perbedaan waktu ini, biasanya para gadis tampak lebih tinggi daripada anak laki-laki seusia pada periode umur 11-14 tahun Perkembangan tanda seksual sekunder pada gadis adalah pertumbuhan payudara, tumbuhnya rambut pubes dan terjadinya menstruasi, pantat mulai membesar, pinggang ramping dan suara feminin.

Sedangkan pada anak laki-laki terlihat buah pelir dan penis mulai membesar, tumbuhnya rambut pubes, rambut kumis, suara mulai membesar. Terjadi mimpi basah, yaitu keluarnya air mani ketika tidur (mimpi basah). Bersamaan dengan perkembangan itu, muncullah gelombang nafsu birahi baik pada laki-laki maupun wanita. Secara psikis, remaja mulai mengalami rasa cinta dan tertarik pada lawan jenisnya. Kegagalan dalam fase ini mengakibatkan kekacauan identitas.

Fase genital berlanjut sampai orang tutup usia, dimana puncak perkembangan seksual dicapai ketika orang dewasa mengalami kemasakan kepibadian. Ini ditandai dengan kemasaka tanggung jawab seksual sekaligus tanggung jawab sosial, mengalami kepuasan melalui hubungan cinta heteroseksual tanpa diikuti dengan perasaan berdosa atau perasaan bersalah. Pemasan impuls libido melalui hubungan seksual memungkinkan kontrol fisiologis terhadap impuls genital itu; sehinggaakan membebaskan begitu banyak energi psikis yang semula dipakai untuk mengontrol libido, merepres perasaan berdosa, dan dipakai dalam konflik antara id-ego-superego dalam menagani libido itu. Enerji itulah yang kemudian dipakai untuk aktif menangani masalah-masalah kehidupan dewasa; belajar bekerja, menunda kepuasan, menjadi lebih bertanggung jawab.


Itulah fase-fase psikoseksesual yang harus dialami oleh tiap-tiap individu. Pada dasarnya fase-fase tersebut didasari dengan suatu kenikmatan yang dirasakan oleh tubuh. Dengan mengetahui akibat-akibat yang ditimbulkan bila gagal ataupun berhasil dalam melewati tiap fase, maka hendaknya orangtua dan para pendidik dapat mengambil manfaatnya, sehingga kita dapat memberikan kesehatan mental putra-putri kita sedini mungkin.




C.    KESIMPULAN

Dalam pertumbuhan nafsu seksual manusia ada 6 fase yang dilalui yaitu: fase oral, fase anal, fase uretral, fase phallus, fasse latensi, dan fase genital. Pada dasarnya fase-fase tersebut didasari dengan suatu kenikmatan yang dirasakan oleh tubuh. Penggolongan tersebut juga bertujuan agar membantu orangtua dalam mendidik anaknya.



DAFTAR PUSTAKA

Syamsu Yusuf IN dan Juntika Nuriichsan .2007. Teori Kepribadian . Bandung .UPI .

Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Jumat, 11 Oktober 2013

ASWAJA

ASWAJa
I. PENGANTAR

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan bagian integral dari sistem keorganisasian PMII. Dalam NDP (Nilai Dasar Pergerakan) disebutkan bahwa Aswaja merupakan metode pemahaman dan pengamalan keyakinan Tauhid. Lebih dari itu, disadari atau tidak Aswaja merupakan bagian kehidupan sehari-hari setiap anggota/kader organisasi kita. Akarnya tertananam dalam pada pemahaman dan perilaku penghayatan kita masing-masing dalam menjalankan Islam.

Selama ini proses reformulasi Ahlussunnah wal Jama’ah telah berjalan, bahkan masih berlangsung hingga saat ini. Tahun 1994, dimotori oleh KH Said Agil Siraj muncul gugatan terhadap Aswaja yang sampai saat itu diperlakukan sebagai sebuah madzhab. Padahal di dalam Aswaja terdapat berbagai madzhab, khususnya dalam bidang fiqh. Selain itu, gugatan muncul melihat perkembangan zaman yang sangat cepat dan membutuhkan respon yang kontekstual dan cepat pula. Dari latar belakang tersebut dan dari penelusuran terhadap bangunan isi Aswaja sebagaimana selama ini digunakan, lahirlah gagasan ahlussunnah wal-jama’ah sebagai manhaj al-fikr (metode berpikir).

PMII melihat bahwa gagasan tersebut sangat relevan dengan perkembangan zaman, selain karena alasan muatan doktrinal Aswaja selama ini yang terkesan terlalu kaku. Sebagai manhaj, Aswaja menjadi lebih fleksibel dan memungkinkan bagi pengamalnya untuk menciptakan ruang kreatifitas dan menelorkan ikhtiar-ikhtiar baru untuk menjawab perkembangan zaman.

Bagi PMII Aswaja juga menjadi ruang untuk menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna bagi setiap tempat dan zaman. Islam tidak diturunkan untuk sebuah masa dan tempat tertentu. Kehadirannya dibutuhkan sepanjang masa dan akan selalu relevan. Namun relevansi dan makna tersebut sangat tergantung kepada kita, pemeluk dan penganutnya, memperlakukan dan mengamalkan Islam. Di sini, PMII sekali lagi melihat bahwa Aswaja merupakan pilihan paling tepat di tengah kenyataan masyarakat kepulauan Indonesia yang beragam dalam etnis, budaya dan agama.

SKETSA SEJARAH

Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) lahir dari pergulatan intens antara doktrin dengan sejarah. Di wilayah doktrin, debat meliputi soal kalam mengenai status Al-Qur’an apakah ia makhluk atau bukan, kemudian debat antara Sifat-Sifat Allah antara ulama Salafiyyun dengan golongan Mu’tazilah, dan seterusnya.

Di wilayah sejarah, proses pembentukan Aswaja terentang hingga zaman al-khulafa’ ar-rasyidun, yakni dimulai sejak terjadi Perang Shiffin yang melibatkan Khalifah Ali bin Abi Thalib RA dengan Muawiyah. Bersama kekalahan Khalifah ke-empat tersebut, setelah dikelabui melalui taktik arbitrase (tahkim) oleh kubu Muawiyah, ummat Islam makin terpecah kedalam berbagai golongan. Di antara mereka terdapat Syi’ah yang secara umum dinisbatkan kepada pengikut Khalifah Ali bin Abi Thalib, golongan Khawarij yakni pendukung Ali yang membelot karena tidak setuju dengan tahkim, dan ada pula kelompok Jabariyah yang melegitimasi kepemimpinan Muawiyah.

Selain tiga golongan tersebut masih ada Murjiah dan Qadariah, faham bahwa segala sesuatu yang terjadi karena perbuatan manusia dan Allah tidak turut campur (af’al al-ibad min al-ibad) – berlawanan dengan faham Jabariyah.

Di antara kelompok-kelompok itu, adalah sebuah komunitas yang dipelopori oleh Imam Abu Sa’id Hasan ibn Hasan Yasar al-Bashri (21-110 H/639-728 M), lebih dikenal dengan nama Imam Hasan al-Bashri, yang cenderung mengembangkan aktivitas keagamaan yang bersifat kultural (tsaqafiyah), ilmiah dan berusaha mencari jalan kebenaran secara jernih. Komunitas ini menghindari pertikaian politik antara berbagai faksi politik (firqah) yang berkembang ketika itu. Sebaliknya mereka mengembangkan sistem keberagamaan dan pemikiran yang sejuk, moderat dan tidak ekstrim. Dengan sistem keberagamaan semacam itu, mereka tidak mudah untuk mengkafirkan golongan atau kelompok lain yang terlibat dalam pertikaian politik ketika itu.

Seirama waktu, sikap dan pandangan tersebut diteruskan ke generasi-generasi Ulama setelah beliau, di antaranya Imam Abu Hanifah Al-Nu’man (w. 150 H), Imam Malik Ibn Anas (w. 179 H), Imam Syafi’i (w. 204 H), Ibn Kullab (w. 204 H), Ahmad Ibn Hanbal (w. 241 H), hingg tiba pada generasi Abu Hasan Al-Asy’ari (w 324 H) dan Abu Mansur al-Maturidi (w. 333 H). Kepada dua ulama terakhir inilah permulaan faham Aswaja sering dinisbatkan; meskipun bila ditelusuri secara teliti benih-benihnya telah tumbuh sejak dua abad sebelumnya.

Indonesia merupakan salah satu penduduk dengan jumlah penganut faham Ahlussunnah wal Jama’ah terbesar di dunia. Mayoritas pemeluk Islam di kepulauan ini adalah penganut madzhab Syafi’i, dan sebagian terbesarnya tergabung – baik tergabung secara sadar maupun tidak – dalam jam’iyyah Nahdlatul ‘Ulama, yang sejak awal berdiri menegaskan sebagai pengamal Islam ala Ahlussunnah wal-Jama’ah.

PENGERTIAN

Secara semantik arti Ahlussunnah wal jama’ah adalah sebagai berikut. Ahl berarti pemeluk, jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab maka artinya adalah pengikut aliran atau pengikut madzhab (ashab al-madzhab).

Al-Sunnah mempunyai arti jalan, di samping memiliki arti al-Hadist. Disambungkan dengan ahl keduanya bermakna pengikut jalan Nabi, para Shahabat dan tabi’in. Al-Jamaah berarti sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Bila dimaknai secara kebahasaan, Ahlusunnah wal Jama’ah berarti segolongan orang yang mengikuti jalan Nabi, Para Shahabat dan tabi’in.

Nahdlatul ‘Ulama merupakan ormas Islam pertama di Indonesia yang menegaskan diri berfaham Aswaja. Dalam Qanun Asasi (konstitusi dasar) yang dirumuskan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari juga tidak disebutkan definisi Aswaja. Namun tertulis di dalam Qanun tersebut bahwa Aswaja merupakan sebuah faham keagamaan dimana dalam bidang akidah menganut pendapat Abu Hasan Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dalam bidang fiqh menganut pendapat dari salah satu madzhab empat (madzahibul arba’ah – Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Hanbali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak menganut Imam Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid Al-Ghazali.

Selama kurun waktu berdirinya (1926) hingga sekitar tahun 1994, pengertian Aswaja tersebut bertahan di tubuh Nahdlatul Ulama. Baru pada sekitar pertengahan dekade 1990 tersebut, muncul gugatan yang mempertanyakan, tepatkah Aswaja dianut sebagai madzhab, atau lebih tepat dipergunakan dengan cara lain?

Aswaja sebagai madzhab artinya seluruh penganut Ahlussunnah wal Jama’ah menggunakan produk hukum atau pandangan para Ulama dimaksud. Pengertian ini dipandang sudah tidak lagi relevan lagi dengan perkembangan zaman mengingat perkembangan situasi yang berjalan dengan sangat cepat dan membutuhkan inovasi baru untuk menghadapinya. Selain itu, pertanyaan epistimologis terhadap pengertian itu adalah, bagaimana mungkin terdapat madzhab di dalam madzhab?

Dua gugatan tersebut dan banyak lagi yang lain, baik dari tinjauan sejarah, doktrin maupun metodologi, yang menghasilkan kesimpulan bahwa Aswaja tidak lagi dapat diikuti sebagai madzhab. Lebih dari itu, Aswaja harus diperlakukan sebagai manhaj al-fikr atau metode berpikir.

ASWAJA SEBAGAI MANHAJ AL-FIKR

Kurang lebih sejak 1995/1997, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia meletakkan Aswaja sebagai manhaj al-fikr. Tahun 1997 diterbitkan sebuah buku saku tulisan Sahabat Chatibul Umam Wiranu berjudul Membaca Ulang Aswaja (PB PMII, 1997). Buku tersebut merupakan rangkuman hasil Simposium Aswaja di Tulungagung. Konsep dasar yang dibawa dalam Aswaja sebagai manhaj al-fikr tidak dapat dilepas dari gagasan KH Said Agil Siraj yang mengundang kontroversi, mengenai perlunya Aswaja ditafsir ulang dengan memberikan kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama untuk merujuk langsung kepada ulama dan pemikir utama yang tersebut dalam pengertian Aswaja.

PMII memandang bahwa Ahlussunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi, menjaga keseimbangan dan toleran. Aswaja bukan sebuah madzhab melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna Aswaja sebagai manhaj al-fikr.

Sebagai manhaj al-fikr, PMII berpegang pada prinsip-prinsip tawasuth (moderat), tawazun (netral), ta’adul (keseimbangan), dan tasamuh (toleran). Moderat tercermin dalam pengambilan hukum (istinbath) yaitu memperhatikan posisi akal di samping memperhatikan nash. Aswaja memberi titik porsi yang seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an dan al-Hadist) dengan penggunaan akal. Prinsip ini merujuk pada debat awal-awal Masehi antara golongan yang sangat menekankan akal (mu’tazilah) dan golongan fatalis.

Sikap netral (tawazun) berkaitan sikap dalam politik. Aswaja memandang kehidupan sosial-politik atau kepemerintahan dari kriteria dan pra-syarat yang dapat dipenuhi oleh sebuah rezim. Oleh sebab itu, dalam sikap tawazun, pandangan Aswaja tidak terkotak dalam kubu mendukung atau menolak sebuah rezim. Aswaja, oleh karena itu PMII tidak membenarkan kelompok ekstrim yang hendak merongrong kewibawaan sebuah pemerintahan yang disepakati bersama, namun tidak juga berarti mendukung sebuah pemerintahan. Apa yang dikandung dalam sikap tawazun tersebut adalah memperhatikan bagaimana sebuah kehidupan sosial-politik berjalan, apakah memenuhi kaidah atau tidak.

Keseimbangan (ta’adul) dan toleran (tasamuh) terefleksikan dalam kehidupan sosial, cara bergaul dalam kondisi sosial budaya mereka. Keseimbangan dan toleransi mengacu pada cara bergaul PMII sebagai Muslim dengan golongan Muslim atau pemeluk agama yang lain. Realitas masyarakat Indonesia yang plural, dalam budaya, etnis, ideologi politik dan agama, PMII pandang bukan semata-mata realitas sosiologis, melainkan juga realitas teologis. Artinya bahwa Allah SWT memang dengan sengaja menciptakan manusia berbeda-beda dalam berbagai sisinya. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan sikap yang lebih tepat kecuali ta’adul dan tasamuh.

PRINSIP ASWAJA SEBAGAI MANHAJ

Berikut ini adalah prinsip-prinsip Aswaja dalam kehidupan sehari-hari. Prinsip-prinsip tersebut meliputi Aqidah, pengambilan hukum, tasawuf/akhlak dan bidang sosial-politik.

AQIDAH

Dalam bidang Aqidah, pilar-pilar yang menjadi penyangga aqidah Ahlussunnah wal-Jama’ah diantaranya yang pertama adalah aqidah Uluhiyyah (Ketuhanan), berkait dengan ikhwal eksistensi Allah SWT.

Pada tiga abad pertama Hijriyah, terjadi banyak perdebatan mengenai Esksitensi sifat dan asma Allah SWT. Dimana terjadi diskursus terkait masalah apakah Asma Allah tergolong dzat atau bukan. Abu Hasan Al-Asy’ari (w. 324 H) secara filosofis berpendapat bahwa nama (ism) bukanlan yang dinamai (musamma), Sifat bukanlah yang disifati (mausuf), sifat bukanlah dzat. Sifat-sifat Allah adalah nama-nama (Asma’) Nya. Tetapi nama-nama itu bukanlah Allah dan bukan pula selain-Nya.

Aswaja menekankan bahwa pilar utama ke-Imanan manusia adalah Tauhid; sebuah keyakinan yang teguh dan murni yang ada dalam hati setiap Muslim bahwa Allah-lah yang Menciptakan, Memelihara dan Mematikan kehidupan semesta alam. Ia Esa, tidak terbilang dan tidak memiliki sekutu.

Pilar yang kedua adalah Nubuwwat, yaitu dengan meyakini bahwa Allah telah menurunkan wahyu kepada para Nabi dan Rosul sebagai utusannya. Sebuah wahyu yang dijadikan sebagai petunjuk dan juga acuan ummat manusia dalam menjalani kehidupan menuju jalan kebahagiaan dunia dan akhirat, serta jalan yang diridhai oleh Allah SWT. Dalam doktrin Nubuwwat ini, ummat manusia harus meyakini dengan sepebuhnya bahwa Muhammad SAW adalah utusan Allah SWT, yang membawa risalah (wahyu) untuk umat manusia. Dia adalah Rasul terakhir, yang harus diikuti oleh setiap manusia.

Pilar yang ketiga adalah Al-Ma’ad, sebuah keyakinan bahwa nantinya manusia akan dibangkitkan dari kubur pada hari kiamat dan setiap manusia akan mendapat imbalan sesuai amal dan perbuatannya (yaumul jaza’). Dan mereka semua akan dihitung (hisab) seluruh amal perbuatan mereka selama hidup di dunia. Mereka yang banyak beramal baik akan masuk surga dan mereka yang banyak beramal buruk akan masuk neraka.

BIDANG SOSIAL POLITIK

Berbeda dengan golongan Syi’ah yang memiliki sebuah konsep negara dan mewajibkan berdirinya negara (imamah), Ahlussunnah wal-jama’ah dan golongan sunni umumnya memandang negara sebagai kewajiban fakultatif (fardhu kifayah). Pandangan Syi’ah tersebut juga berbeda dengan golongan Khawarij yang membolehkan komunitas berdiri tanpa imamah apabila dia telah mampu mengatur dirinya sendiri. Bagi ahlussunnah wal jama’ah, negara merupakan alat untuk mengayomi kehidupan manusia untuk menciptakan dan menjaga kemashlahatan bersama (mashlahah musytarakah).

Ahlussunnah wal-Jama’ah tidak memiliki konsep bentuk negara yang baku. Sebuah negara boleh berdiri atas dasar teokrasi, aristokrasi (kerajaan) atau negara-modern/demokrasi, asal mampu memenuhi syarat-syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah negara. Apabila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka gugurlah otoritas (wewenang) pemimpin negara tersebut. Syarat-syarat itu adalah:

Prinsip Syura (musyawarah)

Negara harus mengedepankan musyawarah dalam mengambil segala keputusan dan setiap keputusan, kebijakan dan peraturan. Salah satu ayat yang menegaskan musyawarah adalah sebagai berikut:

“Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rizki yang Kami berikan kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri. (QS Al-Syura, 42: 36-39)

Prinsip Al-‘Adl (Keadilan)

Keadilan adalah salah satu Perintah yang paling banyak ditemukan dalam Al-Qur’an. Prinsip ini tidak boleh dilanggar oleh sebuah pemerintahan, apapun bentuk pemerintahan itu. Berikut ini adalah salah satu ayat yang memerintahkan keadilan.

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.” (QS An-Nisa, 4: 58)

Prinsip Al-Hurriyyah (kebebasan)

Negara wajib menciptakan dan menjaga kebebasan bagi warganya. Kebebasan tersebut wajib hukumnya karena merupakan kodrat asasi setiap manusia. Prinsip kebebasan manusia dalam Syari’ah dikenal dengan Al-Ushulul-Khams (prinsip yang lima), yaitu:

Hifzhu al-Nafs (menjaga jiwa); adalah kewajiban setiap kepemimpinan (negara) untuk menjamin kehidupan setiap warga negara; bahwa setiap warga negara berhak dan bebas untuk hidup dan berkembang dalam wilayahnya.

Hifzhu al-Din (menjaga agama); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin kebebasan setiap orang memeluk, meyakini dan menjalankan Agama dan Kepercayaannya. Negara tidak berhak memaksakan atau melarang sebuah agama atau kepercayaan kepada warga negara.

Hifzhu al-Mal (menjaga harta benda); adalah kewajiban setiap kepemimpinan untuk menjamin keamanan harta benda yang dimiliki oleh warga negaranya. Negara wajib memberikan jaminan keamanan dan menjamin rakyatnya hidup sesuai dengan martabat rakyat sebagai manusia.

Hifzhu al-Nasl; bahwa negara wajib memberikan jaminan terhadap asal-usul, identitas, garis keturunan setiap warga negara. Negara harus menjaga kekayaan budaya (etnis), tidak boleh mangunggulkan dan memprioritaskan sebuah etnis tertentu. Hifzhu al-Nasl berarti negara harus memperlakukan sama setiap etnis yang hidup di wilayah negaranya.

Hifzh al-‘Irdh; jaminan terhadap harga diri, kehormatan, profesi, pekerjaan ataupun kedudukan setiap warga negara. Negara tidak boleh merendahkan warga negaranya karena profesi dan pekerjaannya. Negara justru harus menjunjung tinggi dan memberikan tempat yang layak bagi setiap warga negara.

Al-Ushulul Khams identik dengan konsep Hak Azazi Manusia yang lebih dikenal dalam dunia modern – bahkan mungkin di kalangan ahlussunnah wal-jama’ah. Lima pokok atau prinsip di atas menjadi ukuran baku bagi legitimasi sebuah kepemerintahan sekaligus menjadi acuan bagi setiap orang yang menjadi pemimpin di kelak kemudian hari.

Prinsip Al-Musawah (Kesetaraan Derajat)

Bahwa manusia diciptakan sama oleh Allah SWT. Antara satu manusia dengan mausia lain, bangsa dengan bangsa yang lain tidak ada pembeda yang menjadikan satu manusia atau bangsa lebih tinggi dari yang lain. Manusia diciptakan berbeda-beda adalah untuk mengenal antara satu dengan yang lain. Sehingga tidak dibenarkan satu manusia dan sebuah bangsa menindas manusia dan bangsa yang lain. Dalam surat Al-Hujuraat disebutkan:

“Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujuraat, 49: 13)

Perbedaan bukanlah semata-mata fakta sosiologis, yakni fakta yang timbul akibat dari relasi dan proses sosial. Perbedaan merupakan keniscayaan teologis yang Dikehendaki oleh Allah SWT. Demikian disebutkan dalam surat Al-Ma’idah.

Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (Al-Maidah; 5: 48)

Dalam sebuah negara kedudukan warga negara adalah sama. Orang-orang yang menjabat di tubuh pemerintahan memiliki kewajiban yang sama sebagai warga negara. Mereka memiliki jabatan semata-mata adalah untuk mengayomi, melayani dan menjamin kemashlahatan bersama, dan tidak ada privilege (keistimewaan) khususnya di mata hukum. Negara justru harus mampu mewujudkan kesetaraan derajat antar manusia di dalam wilayahnya, yang biasanya terlanggar oleh perbedaan status sosial, kelas ekonomi dan jabatan politik.

Dengan prinsip-prinsip di atas, maka tidak ada doktrin Negara Islam, Formalisasi Syari’at Islam dan Khilafah Islamiyah bagi Ahlussunnah wal-Jama’ah. Sebagaimana pun tidak didapati perintah dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas untuk mendirikan salah satu di antara ketiganya. Islam hanya diharuskan untuk menjamin agar sebuah pemerintahan – baik negara maupun kerajaan – harus mampu memenuhi 4 (empat) kriteria di atas.

BIDANG ISTINBATH AL-HUKM (Pengambilan Hukum Syari’ah)

Hampir seluruh kalangan Sunni menggunakan empat sumber hukum yaitu:

Al-Qur’an

As-Sunnah

Ijma’

Qiyas

Al-Qur’an sebagai sumber utama dalam pengambilan hukum (istinbath al-hukm) tidak dibantah oleh semua madzhab fiqh. Sebagai sumber hukum naqli posisinya tidak diragukan. Al-Qur’an merupakan sumber hukum tertinggi dalam Islam.

Sementara As-Sunnah meliputi al-Hadist dan segala tindak dan perilaku Rasul SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh para Shabat dan Tabi’in. Penempatannya ialah setelah proses istinbath al-hukm tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, atau digunakan sebagai komplemen (pelengkap) dari apa yang telah dinyatakan dalam Al-Qur’an.

As-Sunnah sendiri mempunyai tingkat kekuatan yang bervariasi. Ada yang terus-menerus (mutawatir), terkenal (masyhur) ataupun terisolir (ahad). Penentuan tingkat As-Sunnah tersebut dilakukan oleh Ijma’ Shahabah.

Menurut Abu Hasan Ali Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Amidi, Ijma’ adalah Kesepakatan kelompok legislatif (ahl al-halli wa al-aqdi) dan ummat Muhammad pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus. Atau kesepakatan orang-orang mukallaf dari ummat Muhammada pada suatu masa terhadap suatu hukum dari suatu kasus.

Dalam Al-Qur’an dasar Ijma’ terdapat dalam QS An-Nisa’, 4: 115 “Dan barang siapa menentang rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang Mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” Dan “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia..” QS Al-Baqarah, 2: 143.

Qiyas, sebagai sumber hukum Islam, merupakan salah satu hasil ijtihad para Ulama. Qiyas yaitu mempertemukan sesuatu yang tak ada nash hukumnya dengan hal lain yang ada nash hukumnya karena ada persamaan ‘illat hukum. Qiyas sangat dianjurkan untuk digunakan oleh Imam Syafi’i.

TASAWUF

Imam Al-Junaid bin Muhammad Al-Baghdadi menjelaskan “Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu dengan-Nya; Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apa pun.”

Imam Abu Hamid Al-Tusi Al-Ghazali menjelaskan “Tasawuf adalah menyucikan hati dari apa saja selain Allah… Aku simpulkan bahwa kaum sufi adalah para pencari di Jalan Allah, dan perilaku mereka adalah perilaku yang terbaik, jalan mereka adalah jalan yang terbaik, dan pola hidup mereka adalah pola hidup yang paling tersucikan. Mereka telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah dan menjadikannya sebagai saluran tempat mengalirnya sungai-sungai yang membawa ilmu-ilmu dari Allah.”

“berada semata-mata bersama Allah SWT tanpa keterikatan apapun” kata Imam Al-Junaid, lalu “menyucikan hati dari apa saja selain Allah…. Mereka (kaum Sufi) telah membersihkan hati mereka dari berbagai hal selain Allah..,” kata Imam Al-Ghazali. Seorang sufi adalah mereka yang mampu membersihkan hatinya dari keterikatan selain kepada-Nya.

Ketidakterikatan kepada apapun selain Allah SWT adalah proses batin dan perilaku yang harus dilatih bersama keterlibatan kita di dalam urusan sehari-hari yang bersifat duniawi. Zuhud harus dimaknai sebagai ikhtiar batin untuk melepaskan diri dari keterikatan selain kepada-Nya tanpa meninggalkan urusan duniawi. Mengapa? karena justru di tengah-tengah kenyataan duniawi posisi manusia sebagai Hamba dan fungsinya sebagai Khalifah harus diwujudkan.

Banyak contoh sufi atau ahli tasawuf yang telah zuhud namun juga sukses dalam ukuran duniawi. Kita lihat saja Imam Al-Junaid adalah adalah pengusaha botol yang sukses, Al-Hallaj sukses sebagai pengusaha tenun, Umar Ibn Abd Aziz adalah seorang sufi yang sukses sebagai pemimpin negara, Abu Sa’id Al Kharraj sukses sebagai pengusaha konveksi, Abu Hasan al-Syadzily sukses sebagai petani, dan Fariduddin al-Atthar sukses sebagai pengusaha parfum. Mereka adalah sufi yang pada maqomnya tidak lagi terikat dengan urusan duniawi tanpa meninggalkan urusan duniawi.

Urusan duniawi yang mendasar bagi manusia adalah seperti mencari nafkah (pekerjaan), kemudian berbuntut pada urusan lain seperti politik. Dari urusan-urusan itu kita lantas bersinggungan dengan soal-soal ekonomi, politik-kekuasaan, hukum, persoalan sosial dan budaya. Dalam Tasawuf urusan-urusan tersebut tidak harus ditinggalkan untuk mencapai zuhud, justru kita mesti menekuni kenyataan duniawi secara total sementara hati/batin kita dilatih untuk tidak terikat dengan urusan-urusan itu. Di situlah zuhud kita maknai, yakni zuhud di dalam batin sementara aktivitas sehari-hari kita tetap diarahkan untuk mendarmabaktikan segenap potensi manusia bagi terwujudnya masyarakat yang baik.

PENUTUP

Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai manhaj al fikr bersifat dinamis dan sangat terbuka bagi pembaruan-pembaruan. Sebagai sebuah metode pemahaman dan penghayatan, dalam makna tertentu ia tidak dapat disamakan dengan metode akademis yang bersifat ilmiah. Dalam metode akademik, sisi teknikalitas pendekatan diatur sedemikian rupa sehingga menjadi prosedur yang teliti dan nyaris pasti. Namunpun demikian dalam ruang akademis pembaharuan atau perubahan sangat mungkin terjadi.

Sebagai metode berpikir, boleh jadi pada saatnya nanti Aswaja akan memiliki kadar teknikalitas sama tinggi dengan metode ilmiah. Namun dalam pandangan kami upaya pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam terhadap Aswaja perlu kita upayakan bersama-sama terlebih dahulu. Khususnya terhadap apa yang telah kami sajikan di sini, yang sangat butuh banyak masukan. Sebuah kebutuhan lanjut, semacam jabaran teknis untuk memandu langkah per langkah tindakan dan pandangan gerakan, akan muncul kemudian apabila kenyataan lapangan sungguh-sungguh menuntut dan membutuhkannya. Akan tetapi sepanjang kebutuhan primer kolektif kita masih terletak pada memahami, hal semacam itu kami pandang belum menjadi kebutuhan objektif.
NU Di Mata Nahdliyyin

Opini - Artikel

Pada 31 Januari 2008, Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 82 tahun. Untuk memperingati Harlah (Hari Lahir) NU tersebut telah dilakukan serangkaian kegiatan sebulan penuh secara nasional. WASPADA Online

Oleh Drs. Parluhutan Siregar, M.Ag & Abrar M. Dawud Faza, MA

Pada 31 Januari 2008, Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 82 tahun. Untuk memperingati Harlah (Hari Lahir) NU tersebut telah dilakukan serangkaian kegiatan sebulan penuh secara nasional. Puncak peringatan Harlah diselenggarakan 3 Februari 2008 serentak seluruh provinsi seIndonesia. Dalam rangka Harlah NU ke82 ini dalam konteks Sumatera Utara, penting dianalisis beberapa kenyataan tak terbantahkan bahwa organisasi tersebut masih menghadapi seabrek PR (pekerjaan rumah) yang perlu dituntaskan. Di antaranya tentang kesadaran masyarakat terhadap paham Aswaja dan kaderisasi pengikut Nahdliyyin.

Sebenarnya Aswaja atau Ahlu asSunnah wa alJamaah merupakan paham keagamaan yang sudah membumi di Sumatera Utara. Sejak agama Islam masuk ke daerah ini sampai pertengahan abad ke20, umat Islam hanya mengenal paham keagamaan tradisional Ahlu asSunnah wa alJamaah. Di semua pesantren dan madrasahmadrasah tradisional umat diajarkan pelajaran 'Sifat Dua Puluh' (Konsep tauhid Abu Hasan alAsyÕari), beribadah dengan mengikuti mazhab besar Imam alSyafi'i, mengamalkan tarikat naqsyabandiyah dan sebagainya. Sehingga dapat disebutkan, sebenarnya mayoritas umat Islam Sumatera Utara tergolong komunitas 'kaum tua', atau pengikut paham Ahlu asSunnah wa alJamaah.

Memang secara kultural paham Aswaja terus menerus diwariskan dari generasi pendahulu kepada generasi selanjutnya. Namun, pada beberapa tahun terakhir, pengikut Aswaja di Sumatera Utara mengalami banyak persoalan, seperti rendahnya kesadaran dan pemahaman keagamaan yang memadai terhadap paham Aswaja. Ini artinya umat Islam di Sumatera Utara sebenarnya sudah tidak akrab dan tidak mengetahui selukbeluk ajaran Ahlu asSunnah wa alJamaah seperti yang dipahami dan diamalkan generasi pendahulu tersebut. Kelemahan ini menjadikan pengikut Aswaja sebagai 'kue rebutan' bagi kelompokkelompok kepentingan yang mengatasnamakan agama Islam.

Dan sangat disayangkan, sebagian besar pengikut Aswaja tidak menyadari keadaan ini, tidak sadar jika mereka telah dipecahbelah ke dalam berbagai paham keagamaan lainnya (seperti wahabi, syiah dsb), terbagibagi ke dalam berbagai macam organisasi sosialkeagamaan serta terpencar ke dalam berbagai aliran politik. Pada akhirnya, pengikut Aswaja di daerah Sumatera Utara tidak berdaya dan tidak memiliki nilai tawar yang tangguh untuk melawan arus dan pertentangan ideologi, paham keagamaan, dan gerakan politik yang terus menyebarkan agitasi. Pengikut Aswaja di daerah ini telah berubah menjadi objek, bukan lagi sebagai subjek sebagaimana yang pernah diperankan oleh ulama dan syekh pendahulu, tetapi kita tetap saja bungkam seribu bahasa (silent majority) terhadap keadaan mereka.

Dari sisi ekonomi, mayoritas pengikut Aswaja di daerah Sumatera Utara juga mengalami masalah serius. Mereka terutama di pinggiran dan pedesaan tidak memiliki akses yang memadai terhadap sumbersumber ekonomi para buruh, petani dan nelayan tidak memiliki sumber daya dan materi untuk meningkatkan taraf hidupnya. Pada sisi lain, kekayaan desa hanya dapat dikuasai oleh sistem konglomerasi yang kian menggurita untuk seenaknya memperjualbelikan kekayaan desa ke pusat-pusat kota. Persoalan sistematisasi kemiskinan terhadap pengikut Aswaja di pedesaan ini tentu sulit untuk mereka pecahkan sendiri.

Kesemuanya ini menjadi benang kusut yang melilit kehidupan penganut Aswaja di Sumatera Utara sehingga memerlukan pemecahan bersama. Tentu saja pemecahan masalahnya tidak dapat dilakukan secara sederhana melalui ormas Nahdlatul Ulama saja, lebih daripada itu dibutuhkan upaya sistematis dan terorganisir melalui lembagalembaga swadaya masyarakat, yayasan dan sebagainya. Salah satu misalnya adalah Yayasan 'Panji Aswaja' yang baru saja dibentuk oleh insaninsan akademisi dan jurudakwah Aswaja yang siap berjuang memberikan pencerahan dan pemberdayaan ajaran Ahlu asSunnah wa alJamaah (Aswaja) di tengahtengah umat Islam Sumatera Utara.

Selanjutnya, soal kaderisasi. Tidak bisa dipungkiri NU sangat membutuhkan kader yang handal yang memahami nilai dasar NU, memiliki wawasan luas, komitmen kuat, dan kecakapan teknis organisasi. Penanaman nilai dasar NU penting dilakukan agar kader NU memiliki kemampuan memahami nilai-nilai dasar pergerakan. Juga memiliki pandangan keagamaan yang pluralis dan bersikap toleran. Hal ini sangat penting ditekankan karena prinsip dasar dikembangkannya agama Islam adalah menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi dan perdamaian. Di samping itu tentu perlu memiliki keterampilan managerial. Sebab, hanya dengan organisasi yang teratur dan solid, visi dan misi NU bisa dikembangkan secara masif. Bersamaan dengan itu ideologi NU harus benarbenar dirumuskan untuk tujuan operasional yang lebih nyata dalam kehidupan.

Ada banyak wawasan yang perlu dimiliki oleh kader NU. Seorang kader diharapkan memiliki wawasan dasar yang meliputi kemampuan menganalisa perkembangan sosial, politik dan ekonomi. Memiliki kemampuan mengartikulasikan perkembangan situasi sosial politik. Ini penting agar kader mampu mengambil posisi strategis dan jauh dari benturan kepentingan di antara kekuatan kapitalisme global. Mampu melakukan analisa historis dan sosiologis terhadap perkembangan Aswaja, kesadaran kosmologis NU, dan analisa filosofis terhadap epistemologi serta proses pembentukan ideologi. Dan kader yang dibutuhkan muntlak memiliki kecakapan teknis. Kecakapan teknis yang dimaksud antara lain menguasai dasar perjuangan NU. Memiliki kemampuan melakukan analisa terhadap situasi dan memiliki kemampuan menggerakkan organisasi dan massa.

Pada dasarnya kader adalah kelompok aktivisintelektual NU yang mengemban tugas serta bertanggung jawab atas kontribusi organisasi terhadap kebijakan publik yang menyangkut pengembangan pemuda. Segmentasi pengembangan pemuda sebenarnya memberikan ranah yang jelas terhadap komprehensifitas NU pada setiap ritme gerakannya. Di sini kader NU mutlak memiliki minimal dua orientasi, struktural dan keahlian. Struktural berarti kader dipersiapkan untuk menyongsong estafet kepemimpinan NU di semua tingkatannya. Sementara orientasi keahlian berarti bahwa kader harus memiliki kecakapan yang bisa dikontribusikan langsung kepada NU, masyarakat, bangsa dan negara.

Kebutuhan untuk memunculkan kaderkader yang memilki keahlian dan konsentrasi langsung dengan segmen kebutuhan NU dan masyarakat pada umumnya sangat mendesak. PWNU Sumatera Utara harus menyadari hal ini. Kita menyadari mayoritas warga NU adalah kelompok masyarakat yang berbasis pedesaan, baik tani maupun nelayan. Maka NU membutuhkan kader yang memiliki keahlian di bidang pertanian dan nelayan. Lalu, ketika NU bermaksud mengawal tanggung jawab dan program politik kebangsaan, kerakyatan dan kemaslahatannya, maka NU membutuhkan kader politik yang bisa disuplai oleh NU. NU lahir dari rahim pemikiran dan perjuangan ulama. Maka NU pun sebenarnya membutuhkan kader keulamaan yang bisa dilahirkan oleh NU sendiri.

Kemunduran Islam moderat atau Islam yang berpaham Aswaja di Indonesia oleh banyak kalangan sering dihubunghubungkan dengan pandangan keagamaan yang bersumber dari aqidah. Aqidah yang dianut mayoritas penganut Aswaja di Indonesia saat ini dituduh sebagai tak mampu menyangga kejayaan NU yang telah dibangun sejak lama. Atas dasar itulah banyak sarjanasarjana Muslim mulai mencari alternatif, ada yang merapat ke Syiah, Wahabi, Ahmadiyah dan aliran politik Islam 'ekstrim' seperti HTI, FPI, MMI dan sebagainya. Untuk mengantisipasinya perlu dilakukan penguatan paham Aswaja dan kaderisasinya. Demikian beberapa pandangan penulis sebagai warga nahdliyyin yang berharap agar NU Sumatera Utara dapat kembali memperkuat basis ajaran dan warganya di tengahtengah kehidupan masyarakat Sumatera Utara yang semakin majemuk dan berkembang. Sekali lagi, selamat Harlah NU ke82!

Penulis adalah Direktur dan Sekretaris 'Yayasan Panji Aswaja' Sumatera Utara.
Posted July 6th, 2008 by NAHRIYANTI
• Agama
LATAR BELAKANG TIMBULNYA ASWAJA
A. PENGERTIAN KAPITA SELEKTA ASWAJA
Assunnah berarti penganut atau pengikut sunnah nabi Muhammad SAW, jamaah berarti sahabat nabi. Jadi ahlus sunnah waljamaah mengandung arti penganut sunnah (iktikad) nabi dan para sahabat beliau.
B. RUANG LINGKUP ASWAJA
1. Akidah
Akidah secara etimologis berasal dari kata aqida –ya’qidu –a’qidatan yang berarti simpulan atau ikatan. Menurut istilah adalah kepercayaan dan keyakinan. Adapun yang dimaksud dengan akidah islam ialah perkara-perkara yang dipercayai dan diyakini kebenarannya dalam islam berdasarkan dalil Al-Quran dan Sunnah Rasul. Akidah islam meliputi Rukun Iman yakni:
? Beriman kepada Allah
? Beriman kepada malaikat-malaikatnya
? Beriman kepada kitab-kitabnya
? Beriman kepada rasul-rasulnya
? Beriman kepada hari akhirat
? Beriman kepada takdir Allah
Disamping itu akidah islam juga meliputi mempercayai sagala perkara yang gaib yang telah diungkapkan dalam Al-Quran dan hadist sahih. Hal-hal yang gaib yang wajib diyakini keberadaannya adalah surga, neraka, hisab.
Hal-hal yang merusak Akidah:
? Dalam i’tiqad (kufur i’tiqadi)
1) Syak (ragu) atas adanya Allah
2) Syak (ragu) atas kerasulan nabi Muhammad Saw
3) Syak (ragu) bahwa al-Quran itu wahyu dari Allah
4) Syak (ragu) bahwa akan ada hari kiamat, akhirat, surga, neraka, dll.
5) Menghalalkan perbuatan haram
6) Mengharamkan perbuatan yang dibolehkan dan telah disepakati ulama islam
7) Meniadakan suatu amalan ibadat wajib yang telah disepakati ulama islam
8) Mendustakan rasul-rasul Allah
9) Meyakini adanya nabi sesudah nabi Muhammad Saw
10) Mengaku nenjadi nabi atau rasul sesuadah nabi Muhammad Saw.
? Dalam amalan (Kufur’amali)
1) Sujud kepada berhala
2) Menghina kitab-kitab suci baik dengan lisan maupun perbuatan
3) Menghina nabi-nabi dan rasul-rasul
4) Mengejek Allah
? Dalam Perkataan
1) Mengucapkan ”hai Kafir” kepada orang islam
2) Menghina nama-nama Allah
3) Mengejek hari kiamat, surga, dan neraka
4) Mengejek salah satu syariat agama islam
5) Mengejek malaikat-malaikat
6) Mengejek nabi-nabi
7) Mengejek keluarga nabi
8) Mengejek nabi Muhammad Saw.
2. Syariah
Pengertian syariah menurut bahasa berarti jalan lurus, jalan menuju air, jalan yang dilalui air terjun. Menurut istilah adalah hukum islam yang diyakini kebenarannya oleh umat islam sebagai ketentuan dan ketetapan dari Allah yang wajib dipatuhi sebagaimana mestinya.Berdasarkan prinsip keyakinan tersebut, maka setiap muslim wajib melaksanakan syariat islam dalam segala aspek kehidupannya dan sebaliknya dia merasa berdosa apabila mengabaikan nilai-nilai syariah tersebut. Garis-garis besar syariah islam adalah sebagai berikut:
? Hukum ibadat, yang merupakan tuntutan ritual yang mencakup masalah tahara (kebersihan iman), shalat, zakat, puasa, haji, penguburan jenazah, kurban, akikah, penyembelihan hewan, makanan, minuman.
? Hukum munakahat, yaitu himpunan hukum yang mengatur masalah kehidupan rumah tangga.
? Hukum muamalat yaitu membahas kode etik bisnis, utang-piutang, jual-beli,dll yang berkaitan dengan masalah hubungan manusia dengan kekayaan dan harta benda
? Hukum jinayat, yaitu hukum pidana dan perdata yang disyariatkan untuk memelihara kehidupan manusia, melindungi masyarakat, melindungi harta benda yang menjadi hak seseorang, memelihara keturunan, akal, jiwa dan agama.
? Hukum murafaat mukhashamat yaitu hukum acara pidana dan perdata yang mencakup prosedur pengadilan di depan hakim.
? Hukum sulthaniyat yaitu suatu komponen hukum islam yang khusus mengatur masalah-masalah kenegaraan dan pemerintahan.
? Hukum dauliyat yaitu hukum internasional yang berguna untuk mengatur hubungan antara negara dengan negara baik pada masa damai maupun pada masa perang, mengatur soal tawanan perang, gencatan senjata, dan perjanjian antarnegara.
3. Akhlak
Akhlak berasal dari bahasa arab, jamak dari kata khuluq yang artinya budi pekerti. Menurut istilah sebagaimana diungkapkan oleh iman Algazali
Akhlak ialah suatu bentuk dalam jiwa seseorang manusia yang dapat melahirkan suatu tindakan dan kelakuan dengan mudah dan spontan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Akhlak itu dibagi menjadi dua macam yaitu
? Akhlakul karimah adalah akhlak yang mulia
? Akhlakul madzmumah adalah akhlak yang tercela atau akhlak yang tidak terpuji
4. Iman
Kata iman dalam Al-Qur’an ada 2 pengertian dasar :
? Iman dengan pengertian membenarkan
? Iman dengan pengertian amal atau ber-iltizam dengan amal
Dengan demikian dapat dipahami bahwa iman, sebagaimana yang termaktub dalam Al-Qur’an dan sunnah rasulullah Saw., mempunyai 2 pengertian :
? Membenarkan berita yang datang dari Allah dan Rasulnya
? Meneguhkan pendirian terhadap ketentuan yang telah ditetapkan
Seseorang itu disebut beriman, bila dia meyakini dengan sungguh-sungguh beberapa asas yang terkandung dalam kalimat Laa Ilaaha Illallah yaitu:
? Bahwa yang menjadikan alam semesta dan yang mengendalikan segala urusannya adalah Allahakh yang maha esa, hidup, kuasa dan sempurna serta terhindar dari sifat kekurangan dan keaiban.
? Bahwa Allah tidak menjadikan alam semesta ini tanpa tujuan dan sia-sia karena Allah maha suci dari perbuatan main-main
? Bahwa menjadi hak Allah swt menyusun dan menciptakan undang-undang hidup untuk mahluknya karena dialah yang diciptakan segala sesuatu
? Pengabdian diri haruslah semata-mata kepada Allah melalui ibadah
? Meyakini adanya hari kiamat, surga, neraka dan semua hal yang telah diberitakan Allah swt.
5. Islam
Menurut asal kata, islam itu berasal dari kata-kata antara lain:
? Aslama (menyerah) artinya menyerah kepada Allah dan bersedia tunduk kepada segala halyang datang dari Allah dan bersedia berkorban sebagai tanda pengabdian terhadap Allah sebagai khaliqnya.
???? •??? ??????? ????????? ??????????? ?????????? ?? ????? ?????????????? ?????
162. Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.
? Salamun (tangga) artinya islam merupakan tangga untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat dan meraih rida Allah.
? Salima (selamat) artinya bahwa islam itu membawa pemeluknya kearah keselamatan baik didunia maupun diakhirat kelak.
Islam menurut istilah adalah agama Allah yang diwahyukan kepada nabi Muhammad Saw. Adapun karakteristik yang dimiliki ajaran islam :
? Komprehansif
? Universal
? Dinamis dan progresif
? Logis dan rasional
? Elastis dan manusiawi
6. Ihsan
Ihsan dalam pengertian umum adalah berbuat baik. Seseorang yang berbuat baik dan beramal saleh biasa disebut orang muhsin dan orang salih. Beberapa sikap dan perbuatan ihsan, yaitu :
? Istiqamah dalam pendirian, yaitu bersikap teguh atau keteguhan berpegang kepada sesuatu yang diyakini benarnya dan ia tidak mau merubah keyakinannya itu dalam keadaan bagaimanapun yakni baik dalam keadaan susah maup[un senang.
? Tasamuh dalam pergaulan adalah sikap tenggang rasa dengan sesama dalam masyarakat dimana kita berada.
? Khusuk dalam beribadah adalah tekun sambil menundukkan diri yakni seluiruh pikiran, perasaan, hati sanubari yang sedalam-dalamnya.
C. SUMBER-SUMBER AJARAN ISLAM VERSI ASWAJA
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an menurut bahasa berarti bacaan. Secara maknawi, Al-Qur’an adalah kalam Allah swt. Dan merupakan mukjizat yang diturunkankepada nabiMuhammad saw. Al-Qur’an merupakan kitab Allah yang terakhir yang diturunkan pada nabi terakhir dan merupakan penyempurnaan kitab-kitab Allah sebelumnya. Al-Qur’an di turunkan secara berangsur-angsur yaitu selama 22 tahun 2 bulan 22 hari di Mekkah dan Madina
Fungsi Al-Qur’an :
• Al-qur’an Sebagai Pedoman Hidup
Al-qur’an sebagai pedoman kehidupan yang dapat membawa manusia pada keselamatan dan kebahagian lahir batin serta dunia akhirat. Karena mengandung aturan-aturan ilahi yang dinyatakan dalam perintah dan larangan maka dari itu Al-Quran dijadikan dasar dan sumber hukum yang Utama dan pertama.
?????? ??????????? ???????? ??????????? ??????????? ?????????? ?????? ?•?•???? ?????? ??????? ???? ? ???? ????? ???????????????? ???????? ?????
105. Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), Karena (membela) orang-orang yang khianat[
• Al-Qur’an Sebagai sumber Hukum Islam yang Pertama
Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama yakni tempat pengambilan hukum yang pertama setelkah itu baru pada sumber-sumber lainnya. Karena al-Qur’an merupakan perkataan Allah langsung kepada Muhammad dan untuk segala semesta Alam. Al-Qur’an dalam aturannya pada umumnya bersifat global dan umum tidak terperinci dan tidak detail.
2. Hadis
Hadis menurut batasan ilmu hadist yaitu Ucapan perbuatan, dan takrir nabi Muhammad SAW. Dari definisi diatas hadist nabi tebagi atas tiga yaitu :
? Hadist Qauliyah yaitu hadist yang didasarkan atas segenap perkataan dan ucapan Nabi Muhammad SAW .
? Hadis Filiyah yaitu hadist yang didasarkan atas prilaku dan perbuatan Nabi Muhammad SAW
? Hadis Taqririyah yaitu hadist yang disandarkan pada perkataan atau sikap para sahabat yang dibiarkan atau didiamkan oleh Rasulullah SAW.
Kedudukan Hadist yaitu sebagai Sumber hukum islam yang kedua. Oleh karena hukum-hukum atau aturan-aturan yang terdapat pada Al-Qur’an hanya secara garis besar maka nabi Muhammad SAW sebagai rasul Allah bertugas menjelaskan dan menyebarkan dan memperaktikkannya.
Fungsi Al hadist yaitu ;
? Mempertegas hukum hukum yang telah di sebutkan dalam Al-Qur’an
? Menjelaskan, menafsirkan dan merinci ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum dan samar
? Mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang tidak tercamtum dalam al-quran
3. Ijtihad
Ijitihad menurut terminologi berarti berusaha dengan sungguh-sungguh untuk dapat menentukan suatu hukum dari sebuah dalil agama, yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kemampuan dan keahlian yang mendalam, disamping memiliki syarat-syarat tertentu baik dilakukan secara individual maupun bersama-sama sehingga mencapai kesepakatan dalam suatu maslah tertentu pada masa tertentu pula berkenan dengan penilaian sesuatu yang belum ada kepastiannya secara tegas dalam Al-Qur’an dan Al hadist.
Ijitihad merupakan sumber hukum Islam yang ketiga setelah Al-Qur’an dan al hadist
Kedudukan ijitihad :
? Ijitihad tidak dapat melahirkan keputusan yang mutlak absolut
? Keputusan yang ditetapkan ijitihad mungking berlaku bagi seseorang tetapi tidak berlaku bagi orang lain
? Ijitihad tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan al hadist
? Dalam proses Ijitihad hendaknya dipertimbangkan faktor faktor motivasi, akibat, kemaslahatan umum dan nilai-nilai yang menjadi ciri dan jiwa daripada ajaran Islam.
D. TOKOH-TOKOH ASWAJA
Tokoh utama aswaja sekaligus pendiri Mashab Ini adalah Abu al Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur al-maturidi.
1. Abu al-hasan Ali bin Ismail bin abi Basyar Ishak bin salim bin Ismail Bin abdullah bin Musa Bin Bilal bin Abu Burdan amir bin Abi Musa Abdullah Bin Qais al-Asy’ari.
2. Abu mansur Muhammad bin Muhammad Bin Mahmud al-Matutidi
E. AJARAN-AJARAN POKOK TEOLOGI ASWAJA
1. ajaran al-Asy’ari
a. sifat-sifat tuhan menurut al-Asy’ari, tuhan tuhan memiliki sifat-sifat sebagaimana disebutkan didalam Al-Quran yaitu : Allah Mengetahui dengan ilmu, berkuasa dengan qudrah, hidup dengan nayah, berkehendak dgan inadah, berkata dengan kalam, mendengarkan dengan sama’, melihat dengan bashar, dan seterusnya. Sifat sifat tersebut adalah azali, qadim dan berdiri dio tasa zat tuhan. Sifat sifat itu bukanlah zat tuhan dan bukan pula lain dari zatnya.
b. Al-Quran menurut al-Asy-ari, Al-Quran adalah Qadim, bukan mahluk (diciptakan) hal ini di dasarkan pada yat 40 surat an-Nahl
c. Melihat tuhan. Al asy’ari berbendapat bahwa tuhan bisa dilihat dengan mata kepala di akhirak kelak. Dasarnya antara lain firman Allah dalam surat Al qiyamah ayat 22-23
d. Perbuatan manusia. Perbuatan manusia diciptakan tuhan bukan diciptakan oleh manusia itu sendiri\. Gambaran tentang hubungan perbuatan manusia dengan kehendak dengan kekuasaan mutlak tuhan dikemukakan dealam teorinya yang disebut al-kasb (ialah bebarengnya kekuasaan tuhan dengan perbuatan manusia). Menurut al-asy’ari untuk mewujudkan suatu perbuatan manusia diperlukan dua daya yaitu daya manusia dan daya tuhan . tapi daya tuhanlah yang efektif dalam perwujudan perbuatan ini.
e. Antropomorphisme. Tuhan bertahta di arsy, mempunyai muka, tangan dan mata dan sebagainya. Tetapi bentuknya tidak sama dengan mahluknya bagaimana bentuk muka, telinga, tangannya dsb tidat dapat ditentukan
f. Keadilan tuhan al-asy’ari menolak paham ini , tuhan tidak mempunyai kewajiban apapun. Tuhan tidak wajib memasukkan orang baik ke surga dan memasukkan orang jahat keneraka. Semua itu merupakan kehendak mutlak dari allah sebab allah yang berkuasa dari segala-galanya adalah miliknya tuhan adalah penguasa mutlak tidak ada yang lebih berkuasa , bahkan sebanding dengannya ia bisa saja melakukan apa saja yang dikehendakinya
g. Muslim yang berebuat dosa besar. Seorang muslim yang berbuat dosa besar dan meninggal dunia sebelum bertobat tewtap mukmin, tidak kafir, tidak pula berada diantara mukmin dan kafir sebagaimana pendapat Mu’tazilah. Bagaimana keadaannya di akhirat terserah Allah SWT dengan beberapa kemungkinan :
a) Ia mendapat ampunan dari Allah SWT dengan rahmatnya sehingga prembuat dosa besar itu di masukkan kedalam surga
b) Mendapat syafaat dar nabi besar Muhammad SAW
c) Allah memberikan hukuman dan di masukkan kedalam neraka sesuai dengan bobot dosa besar yang dia telah lakukan baru kemudian di masukkan kedalam surga
2. Ajaran al- Maturidi
a. Sifat tuhan. Tuhan mempunyai sifat sifat : mengetahui dengan sifat ilmunya bukan dengan zat-zatnya. Tuhan berkuasa dengan qudrahnya bukan dengan zat-nya
b. Perbuatan manusia. Perbuatan manusia sebenarnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, sekalipun kemudian perbuatan yang dilakukan adalah kehendak tuhan tapi perbuatan itu bukan perbuatan tuhan
c. Al-Quran menurut al-Maturidi Al-Quran adalah kalam Allah yang Qadim bukan diciptakan sebagaimana paham mu’tazilah. Untuk ini untuk ini al maturidi sepaham dengan al-asy’ari
d. Kewajiban tuhan. Al maturidi berpendapat tuhan memiliki kewajiban tertentu hal ini sepaham denagan muktazilah
e. Muslim yang berebuat dosa besar. Sama dengan al-asy’ariSeorang muslim yang berbuat dosa besar tetap mukmin tidak kafir tidak juga diantara kafir dan mikmin sebagaimana paham muktazilah
f. Janji tuhan, baik janji memberikan pahala kepada yang berbuat baik maupun ancaman siksa bagi yang berbauat jahat, menurut al maturidi mesti terjadi. Tuhan pasti memnuhi janjinya tuhan tidak akan mengingkari janjinya itu
g. Antroporphisme, ayat-ayat Al-Quran yang menggambarkan seolah-olah tuhan mempunyai bentuk jasmani seperti manusia harus ditakwil diberi arti majazi bukan diartikan secara harfiah
F. POKOK-POKOK KEIMANAN
1. Iman Kepada Allah
Iman kepada Allah adalah percaya dengan sepenuhnya tentang adanya Allah dan segala sifat-sifat sempurna yang ada pada-Nya, serta meniadakan /mensucikan Allah dari segala sifat kekurangan serta meyakini sifat jaiz bagi Allah. Yakin dengan sepenuhnya bahwa Allah itu ada, maha kuasa, maha kekal, berdiri sendiri, berpengetahuan, berkemauan.
???? ???? ???? ?????? ??? ???? ????????? ??? ???? ?????? ?????? ??????? ??? ?????? ????? ????? ?•????? ?????? ???
1. Katakanlah: "Dia-lah Allah, yang Maha Esa.
2. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu.
3. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan,
4. Dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia."
Jika telah yakin terhadap adanya Allah dengan segala sifat-sifatnya maka kita dituntut untuk membuktikan keyakinan kita tersebut melalui perbuatan yang nyata. Adapun akibat dari orang yang tidak beriman kepada Allah:
? Mendapatkan kerugian baik didunia maupun diakhirat
? Tidak akan mendapatkan hidayah dari Allah, dan akan mendapat siksa yang pedih dari-Nya
? Hatinya tidak akan tenteram dan jiwanya tidak akan tenang
? Hilangnya rasa malu untuk berbuat maksiat
Hikmah beriman kepada Allah :
? Iman yang kuat akan memberikan motivasi kepada orang beriman untuk merealisasikannya dalam perbuatan yang kongkrit yang terjelma melalui amal saleh
? Dengan iman yang teguh hidup seorang mukmin akan menjadi tenang, hatinya tenteram, sebab mempunyai pegangan hidup yang dijamin kebenarannya
? Tawadhu dan rendah hati
? Sabar dan tabah dalam menghadapi masalah
2. Iman Kepada Malaikat Allah Swt
Iman kepada malaikat adalah meyakini bahwa malaikat itu ada, merupakan mahluk yang dimuliakan, tidak pernah berbuat maksiat kepada Allah dan selalu menjalankan apa yang diperintahkan kepadanya. Kita wajib mengimani malaikat sebatas apa yang dijelaskan oleh Allah maupun Rasulullah. Kita tidak harus mengimani bagaimana hakikat malaikat itu , sebab ini merupakan rahasia Allah. Melainkan wajib beriman kepada wujud malaikat beserta sifat-sifatnyayang dijelaskan oleh Allah Swtmaupun rasulullah Saw. Jadi yang dapat diketahui bahwa malaikat merupakan salah satu mahluk allah yang gaib, abstrak, yang tidak terjangkau dengan pancaindra.
Berbeda dengan manusia yang diciptakan dari tanah, jin dan setan dari api maka malaikat diciptakan dari cahaya (nur). Mengenai jumlah malaikat merupakan rahasia Allah tidak seorangpun yang mengetahui jumlahnya selain allah sendiri namun yang terdapat keterangannya dan wajib kita imani ada sepuluh malaikat.
3. Iman Kepada Kitab Allah Swt
Iman kepada kitab Allah adalah percaya sepenuhnya bahwa Allah telah menurunkan wahyu petunjuk suci kepada para utusan-Nya yang kemudian dihimpun menjdi kitab suci yang dinamakan kitab-kitab Allah. Keimanan kita kepada kitab Allah mencakup keyakinan bahwa Allah telah menurunkan beberapa kitab kepad para utusannya yang berisi berbagai petunjuk, tuntutan, perintah, larangan, peringatan, ancaman, kabar gembira.
Al-Qur’an sebagai kitab suci mempunyai beberapa keistimewaan dari kitab-kitab yang lain, antara lain :
? Otentisitas (keaslian) Al-Qur’an dijamin oleh Allah Swt
? Al-Qur’an merupakan mukjizat terbesar Nabi Muhammad Saw
? Al-Qur’an membenarkan dan menyempurnakan kitab-kitab sebelumnya
? Al-Qur’an mengangkat derajat manusia
? Al-Qur’an sebagai bacaan yang berpahala
4. Iman Kepada Rasul Allah Swt
Menurut bahasa, Nabi adalah orang yang memberi kabar, dan anbiya’ adalah bentuk jamak dari nabi , artinya beberapa nabi. Menurut istilah syara’, nabi adalah seorang laki-laki yang diberi wahyu Allah SWT namun tidak diwajibkan unwuk menyampaikan wahyu tersebut ke ummatnya. Sedangkan rasul diwajibkan untuk menyampaikan kepada ummatnya. Dengan demikian setiap rasul adalah nabi, tetapi tidak semua nabi adalah rasul.
Dengan diangkatnya atau dipilihnya para manusia sebagai utusan utusan Allah, diharapkan mampu untuk menerima petunjuk dari Allah dan menyampaikan kepada ummatnya sekaligus menjadi sauri teladan bagi mereka. Jumlah nabi dan rasul adalah sangat banyak sekali. Tidak seorangpun yang tahu pasti. Allah hanya menjelaskan kepada kita bahwa sebagian dari mereka ada yang diberitakan dan sebagian tidak diberitakan kepada manusia. Kita hanya diwajibkan untuk mengetahui 25 rasul yang keterangannya terdapat dalam al-Quran
???????? ??????????? ?????? ???? ???????? ??????? ?•? ????????? ???????? ????????? ?•? ???? ???????? ???????? ? ????? ????? ????????? ??? ???????? ????????? ???? ???????? ???? ? ??????? ?????? ?????? ???? ?????? ??????????? ???????? ????????? ??????????????? ????
78. Dan Sesungguhnya Telah kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak kami ceritakan kepadamu. tidak dapat bagi seorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah; Maka apabila Telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. dan ketika itu Rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.
5. Iman Kepada Hari Akhirat
Iman pada hari Akhirat salah satu rukun iman yang sangat penting bagi setiap orang sebab tanpa meyakini adanya hari akhirat seseorang beranggapan bahwa kehidupan di dunia ini adalah tujuan akhir hidupnya hingga dia sama sekali tidak mempersiapkan diri untuk menyongsong kehidupan akhirat yang pasti akan terjadi.
Hal-hal yang berkaitan dengan hari kiamat antara lain :
? Alam Barzah yaitu alam yang memisahkan antara kehidupan dunia dan akhirat
? Yaumul ba’ats hari kebangkitan seluruh mahluk dari alam barzah dibawah suatu tempat guna mengikuti proses pengadilan Allah
? Yaumul hasyr yaitu berkumpulnya semua manusia disuatu tempat yang disebut padang mahsyar
? Hisab (perhitungan amal), setelah seluruh mahluk berkumpul dipadang mahsyar Allah melakukan perhitungan amal mereka masing-masing dengaqn seadil-adilnya
? Mizan yaitu timbangan yang diciptakan allah untuk menimbang amal manusia
? Shirat yaitu sebuah jembatan yang dibentangkan antara ujung mahsyar dan ujung surga yang ditengahnya adalah neraka
? Surga dan Neraka. Surga merupakan tempat yang dijanjikan Allah bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Neraka adalah tempat yang disediakan bagi orang-orang kafir untuk selama-lamanya atau juga bagi orang-orang mukmin yang berdosa( sebagai tempat sementara ) sampai dipidahkan kesurga
Hikmah beriman kepada hari akhirat :
? Mempersiapkan diri secara maksimal
? Mempunyai wawasan yang jauh
? Mendapat hidayah dari Allah
6. Iman Kepada Qada dan Qadar
Iman kepada Qada dan Qadar artinya percaya bahwa segala sesuatu yang telah dan akan terjadi semuanya itu menurut apa yang ditentukan oleh Allah.
??? ??? ??????????? ???? ??? ?????? ???? ????? ???? ?????????? ? ??????? ???? ?????????????? ??????????????? ????
51. Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang Telah ditetapkan Allah untuk kami. dialah pelindung kami, dan Hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal."
Ahlus sunnah waljamaah beranggapan bawa manusia mempunyai kehendak dan kemampuan yang diberikan oleh Allah kepadanya, namun pada prakteknya keendak tersebut tidak terlepas dari iradah Allah Swt.. jadi seluruh perbuatan manusia merupakan perpaduan antara kehendak manusia yang diberikan Allah kepadanya dengan iradah Allah yang menyertainya.
Hikmah beriman kepada qada dan qadar :
? Sabar dan tabah
? Qanaah yaitu rela menerima ketentuan Allah atas dirinya dengan ikhlas
? Tidak mudah putus asa dan mengeluh
? Menjadi motivator
G. SIFAT –SIFAT ALLAH
1. Sifat Wajib
Yang dimaksud dengan sifat wajib Allah ialah sifat yang pasti ada dan harus ada pada Allah untuk selama-lamanya. Allah tidak dapat dilihat dengan mata dan tidak dapat diraba dengan panca indera.
Adapun sifat sifat Allah yaitu ;
a. Wujud berarti ada
b. Qidam berarti dahulu
c. Baqa berarti kekal
d. Mukhlafatu lil hawaditsi berarti berbeda dengan mahluknya
e. Qiyamuhu binafsihi berarti diri sendiri
f. Wahdaniyah berarti maha Esa
g. Qudrat berarti berkuasa
h. Iradat berarti berkuasa
i. Ilmu berarti mengetahui
j. Hayat berarti hidup
k. Sama’ berarti mendengar
l. Kalam berati berfirman
m. Bashar berarti melihat
n. Qadiran berarti maha kuasa
o. Maridhan bersrti maha berkehendak
p. Alimun berarti mahamengetahui
q. Hayyan berarti hidup
r. Sami’an berti maha mendengar
s. Bashiran berarti maha melihat
t. Mutakalliman berati maha berfiman
2. Sifat Mustahil
Sifat mustahil bagi Allah adalah segala sifat yang berlawanan dengan sifat wajib bagi Allah, Yaitu :
a. Adam = tidak ada, mustahil Allah t5idak ada
b. Hudust = baru, mustahil Allah baru
c. Fana = rusak, mustahil Allah rusak
d. Mumatsalah lil hawaditsi = serupa dengan mahluk, mustahil Allah serupa dengan mahluk
e. Ihtiyyaj lighairihi = membutuhkan yang lain, mustahil Allah membutuhkan yang lain
f. Ta’addudun = banyak, mustahil Allah lebih dari satu (banyak)
g. ’ajzun = lemah, mustahil Allah lemah
h. Karahah = terpaksa, mustahil Allah terpaksa atau dipaksa
i. Jahlun = bodoh, mustahil Allah itu bodoh
j. Mautun = mati, mustahil Allah itu mati
k. Shamamun = tuli, mustahil Allah tuli
l. Umyun = buta, mustahil Allah buta
m. Bukmun = bisu, mustahil Allah buta
n. ’ajizan = yang maha lemah, mustahil allah yang maha lemah
o. Mukrahan = yang maha terpaksa, mustahil Allah maha terpaksa
p. Jahilan = yang maha bodoh, mustahil Allah yang maha bodoh
q. Mayyitan = yang maha mati, mustahil Allah yang maha mati
r. Ashamma = yang maha tuli, mustahil Allah yang maha tuli
s. A’maa = yang maha buta, mustahil Allah yang maha buta
t. Abkama = yang maha bisu, mustahil Allah maha bisu
3. Sifat jaiz
Jaiz berarti sesuatu yang mungkin terjadi dan mungkin tidak terjadi. Adapun sifat jaiz bagi Allah hanya satu yaitu Allah berbuat sesuatu atau yang meninggalkannya.
H. QADA dan QADAR
Menurut bahasa qada berati ketetapan atau keputusan sedangkan qadar berarti ketentuan atau ukuran.
Menurut istilah adalah kehendak Allah SWT atau iradah terhadap sesuatu di alam azali. Sedangkan qadar mengadakan sesuatu menurut qadar yang tertentu dan cara tertentu yang di iradahkan oleh Allah SWT. Dengan demikaian manusia tidak akan mengetahui qadanya sebelum terjadi. qadar dapat diketahui setelah terjadi
Iman kepada qada dan qadar berati mempercayai bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam ini adalah menurut hukum atau aturan yang telah ditentukan oleh Allah SWT . hal ini menunjukkan kemauan dan kehendak tuhan adalah mutlak
Ayat Al-Quran yang berhubungan Qada dan Qadar :
Fungsi-fungsi iman kepada Qada dan Qadar dengan keimanan yang benar sebagai berikut :
? Jika bertindak benar seseorang akan menjadi berani dan tidak takut apapun walupun mati resikonya
? Rajin berihtiar kepada allah karena qada tidak dapat diketahui oleh manusia sehingga kita berusaha maksimal sebelum takdir itu datang
? Memberikan keseimbangan jiwa
? Meningkatkan iman dan takut kepada Allah dengan dinamis
? Menghilankan perasaan sombongdan nmembanggakan diri dalam menghadapi keberhasilan
? Memberikan jalan yang terang bagi manusia sehingga tidak menyalahkan takdir untuk melaksanakan kemaksiatanPaham Ahlussunnah wal Jama’ah yang dianut NU
Berkembangnya Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia berbarengan dengan berkembangnya Islam di Indonesia yang dibawa oleh para wali. Di pulau Jawa, peranan Walisongo sangat berpengaruh dalam memantapkan eksistensi Ahlussunnah wal Jama’ah. Namun, Ahlussunnah wal Jama’ah yang dikembangkan Walisongo masih dalam bentuk ajaran-ajaran yang sifatnya tidak dilembagakan dalam suatu wadah organisasi mengingat ketika itu belum berkembang organisasi.

Pelembagaan ajaran Ahlussunah wal Jama’ah di Indonesia dengan karakter yang khas terjadi setelah didirikannya Nahdlatul Ulama (NU) pada tahun 1926. NU adalah sebagai satu-satunya organisasi keagamaan yang secara formal dan normatif menempatkan Ahlussunnah wal Jama’ah sebagai paham keagamaan yang dianutnya. (12

KH. M. Hasyim Asy'ari sebagai salah seorang pendiri NU, telah merumuskan konsep Ahlussunnah wal Jama’ah dalam kitab al-Qânûn al-Asâsiy li Jami’yyah Nahdlah al-‘Ulamâ’. Al-Qânûn al-Asâsiy berisi dua bagian pokok, yaitu :

(1) risalah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang memuat tentang kategorisasi sunnah dan bid’ah dan penyebarannya di pulau Jawa, dan

(2) keharusan mengikuti mazhab empat,(13 karena hidup bermazahab itu lebih dapat menyatukan kebenaran, lebih dekat untuk merenungkan, lebih mengarah pada ketelitian, dan lebih mudah dijangkau. Inilah yang dilakukan oleh salafunâ al-shâlih (generasi terdahulu yang salih).(14

Mengenai istilah Ahlussunnah wal Jama’ah, KH. M. Hasyim Asy’ari dengan mengutip Abu al-Baqa' dalam bukunya, al-Kulliyyât, mengartikannya secara bahasa sebagai jalan, meskipun jalan itu tidak disukai. Menurut syara', ‘sunnah’ adalah sebutan bagi jalan yang disukai dan dijalani dalam agama sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah Saw. atau tokoh agama lainnya, seperti para sahabat. Sebagaimana dikatakan Syeikh Zaruq dalam kitab ‘Uddah al-Murîd, menurut syara', ‘bid'ah’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip bagian agama, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. (15
Yang menarik dalam Qânûn Asâsiy adalah bahwa KH. M. Hasyim Asy'ari melakukan serangan keras kepada Muhammad ‘Abduh, Rasyid Ridha, Muhammad Ibn ‘Abd al-Wahhab, Ibn Taimiyah, dan dua muridnya Ibn al-Qayyim dan Ibn ‘Abd al-Hadi yang telah mengharamkan praktek yang telah disepakati umat Islam sebagai bentuk kebaikan seperti ziarah ke makam Rasulullah. Dengan mengutip pendapat Syeikh Muhammad Bakhit al-Hanafi al-Muti'i dalam risalahnya Tathîr al-Fu'âd min Danas al-'Itiqâd, KH. M. Hasyim Asy'ari menganggap kelompok ini telah menjadi fitnah bagi kaum muslimin, baik salaf maupun khalaf. Mereka merupakan aib dan sumber perpecahan bagi kaum muslimin yang mesti segera dihambat agar tidak menjalar ke mana-mana. (16
Dalam perkembangan selanjutnya, konsep Ahlussunnah wal Jama’ah tersebut mengalami proses pergulatan dan penafsiran yang intensif di kalangan warga NU. Sejak ditahbiskan sebagai paham keagamaan warga NU, Ahlussunnah wal Jama’ah mengalami kontekstualisasi yang beragam. Meskipun demikian, kontekstualisasi Ahlussunnah wal Jama’ah, tidak menghilangkan makna dasarnya sebagai paham atau ajaran Islam yang pernah diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah Saw. bersama para sahabatnya.

? Memberikan kemantapan hati untuk memilih yang benar daripada yang sesat
• click link
• 683 clicks
Untuk dapat merequest file lengkap yang dilampirkan pada setiap judul, anda harus menjadi special member, klik Register untuk menjadi free member di Indoskripsi.
Semua Special Member dapat mendownload data yang ada di download area.
II.