Jumat, 11 Oktober 2019

Catatan pengajian Al-hikam Alm. Romo KH. Djamaludin Achmad


15 Desember 2008 hikmah ke 1
“Sengaja Allah menjadikan Syaiton menjadi musuh kamu, supaya engkau jenuh pada saiton dan tidak mengikuti perkataannya dan kamu akan berlindung pada Allah dan tetap mengendalikan (menggerakkan) hawa nafsumu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan untuk menahan hawa nafsumu”
Musuh asli manusia
1.       Musuh dari dalam : Nafsu (ada didalam badan, berjalan bersama aliran darah, bercampur dengan daging, nafsu selalu mengajak kepada ang jahat), Setan ang tidak kelihatan
2.       Musuh dari luar : Dunia (segala kenikmatan dunia dalam hal ini adalah maksiat), Syaitan yang berwujud manusia (manusia yang selalu mengajak untuk urusan dunia dan selalu mengarah kepada perbuatan ma’siat, seperti dalam surat an-nahl “Sungguh saitan tidak puna kemampuan untuk menggoda orang beriman kecuali yang beriman itu senang dengan kemaksiatan
Tiga orang yang tidak dapat masuk surga
1.       Orang yang menakitkan hati kedua orang tuana
2.       Orang yang minum-minuman keras yang tak bertobat sampai mati
3.       Orang yang jadi penghubung orang yang melakukan zina (germo)

Catatan pengajian Al-hikam Alm. Romo KH. Djamaludin Achmad


22 Desember 2008 hikmah no. 2
“siapa yang merasa dirinya tawadhu atau rendah diri melainkan dia adalah orang ang sombong, karena sifat tawadhu nya menganggap dirinya besar maka dia adalah orang yang sombong.
Tingkatan-tingkatan sombong
1.       Orang yang ibadah kepada Allah ingin bahagia didunia yaitu inging mendapat kemulyaan didunia
2.       Orang yang ibadah kepada Allah ingin menang di akhirat, masuk surga dan menjauhi neraka
3.       Orang yang ibadah kepada Allah kepingin ma’rifat kepada Allah
4.       Orang yang ibadah kepada Allah ingin menjadi hamba Allah yang sebenarnya (inilah yang disebut tawadhu

Catatan pengajian Al-hikam Alm. Romo KH. Djamaludin Achmad

02 Nopember 2009 Hikmah No 14,1
“ Maka ia memalingkan muka dari dunia ini dan mengabaikan dengan memejamkan mata dan berjalan terus, meletakkannya dibelakangnya, maka ia tidak menganggap tanah airnya sebagai tempat tinggal, maka ia (Aaqil) yang cahaya hatinya mencorong berpaling dari dunia ini dari mukanya (qolbu) ia memejamkan matanya (mata Hati) “
Ringkasan Penjelasan dari KH. M. Djamaluddin Achmad
Seseorang yang berjalan menuju Allah itu matanya sudah tertutup, tidak terpengaruh dengan dunia, maksudnya tertutup ialah mata hatinya menutup hawa nafsu, sehingga hawa nafsu tidak menguasai dirinya.
Orang-orang yang terpengaruh dunia itu biasanya kikir dan Akhirnya akan menuju Neraka, dan orang dermawan akan masuk surga kalau ia beribadah tidak memikirkan harta (Dunia)
Karena isi dunia sejatinya adalah Membahayakan, Hanya sekejab dan Penuh kebohongan (Ilusi Belaka)
Tanda-tanda Hati mencorong (cemerlang)
1.      Bersungguh-sungguh jikalau ibadah kepada Allah
2.     Tawakkal Ila Allah, yaitu Rajin, Bersungguh-sungguh, Pasrah, Jika dicontohkan misalnya, keberhasilan Menuntut Ilmu adalah hati harus pasrah kepada Allah maka akan sempurna menuntut ilmunya
3.       Meninggalkan dunia dari hatimu, Maksudnya adalah misal kita saat melakukan pekerjaan dunia dengan hati pasrah kepada Allah dan tidak terpengaruh olehnya dan hakekat dunia itu lebih remeh (lebih murah) dari sayap nyamuk
Dunia itu bagaikan tempat sampah dan kotoran, dunia itu bagaikan perempuan tuarenta yang memakai pakaian dan perhiasan yang bagus. Maka janganlah menganggap dunia sebagai tempat tinggal.
3 tingkatan tujuan manusia beribadah
1.       Hanya ingin lepas dan selamat dari siksa api Neraka (Tingkatan terendah)
2.       Mengingat Allah hanya bertujuan untuk memperoleh rahmat Allah dan ingin masuk surga (Tingkatan Menengah)
Mencapai Taqorrub Ilallah dan sudah wushul ilallah (Tingkatan Tertinggi)

Selasa, 11 April 2017

JELASKAN PERBEDAAN EN-SOI DAN POUR-SOI

JELASKAN PERBEDAAN EN-SOI DAN POUR-SOI
Paper Halaqoh
Disajikan pada 25 Pebruari 2017

PENGASUH:
Alm.  Prof. Dr. KH. Ahmad Mudlor, S.H.

Oleh :
Abdullah Mujahid
Mahasiswa Semester XII
Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya Malang



Halaqoh Ilmiah
LEMBAGA TINGGI PESANTREN LUHUR MALANG
Pebruari 2017



A.    PENDAHULUAN

Jika kita mendalami en-soi dan pour-soi maka kita akan bertemu dengan kajian keilmuan dari filsafat dan humaniora. En-soi dan pour-soi dapat kita temukan pada dalam karya utama Sartre, yakni L’être et le nêat (Being and Nothingness), atau dalam bahasa Indonesia yakni “Ada dan Tiada” istilah tersebut merupakan buah pemikiran seorang filusuf bernama Jean Paul Sartre, beliau adalah penganut filsafat eksistensialisme. Beliau juga dipengaruhi oleh corak filsafat rasionalisme dan idealisme dari deskartes, Kant, Hegel sampai fenomologi husserl serta Martin Heidegger. Apa yang dimaksud dengan En-soi dan pour soi, maksud dan tujuanya akan dibahas pada bab selanjutnya.

B.    PEMBAHASAN

1.    Tentang Jean Paul Sartre

Jean Paul Sartre adalah tokoh Eksistensialisme yang hidup pada abad ke-20an. Dia lahir di Paris, Perancis pada tanggal 21 Juni 1905, dan meninggal pada tanggal 15 April 1980. Pada bidang pendidikan ia termasuk orang yang cukup intelektual. Pada waktu di Jerman dia bertemu dan belajar pada Husserl, yang mana ini merupakan nilai sejarah tersendiri bagi perkembangan pemikiran Sartre di kemudian hari.
Sartre sejak kecil hidup dalam lingkungan religius. Tetapi, justru kebalikannya ia anti dengan agama dan Tuhan. Dia mengembangkan filsafatnya dengan corak ateis. Corak filsafat Sartre dipengaruhi oleh Rasionalisme dan Idealisme, yakni dari Descartes, Kant, Hegel sampai fenomenologi Husserl serta Martin Heidegger. Filsuf-filsuf tersebut sangat penting nilainya bagi Sartre, namun dalam tulisannya, ia kerap melontarkan kritik-kritik terhadap mereka. Husserl, Heidegger dan Hegel mempunyai peran penting dalam karya utama Sartre, yakni L’être et le nêat (Being and Nothingness), atau dalam bahasa Indonesia yakni “Ada dan Tiada” yang berusaha memahami eksistensi manusia.

2.    Perbedaan En-soi dan Pour-Soi
Dalam karya monumentalnya tentang L’être et le nêat (Being and Nothingness) Satre memdikotomikan status ontologis manusia menjadi dua atau dua cara manusia berada di dunia yaitu, etre-en-soi (being-in-itself) yang berarti: ada-dalam-dirinya. dan Etre-Pour-Soi (being-for-itself) yang berarti: ada-bagi-dirinya.
a.)    Etre-en-soi (being-in-itself) identik dengan dirinya
disebut sebagai Ada yang tidak sadar (non-conscious-being) sehingga ia tidak mampu memberi makna pada eksistensinya. tidak aktif dan tidak negatif. Etre-en-soi itu tidak memiliki masa depan dan tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Etre-en-soi merupakan suatu tipe eksistensi benda-benda yang tidak berkesadaran dan padat, artinya kesadaran yangmenjadi bentuk dari kehadiran diri terhadap diri sendiri Maka, etre-en-soi tidak pernah ada dan tidak pernah dapatmenempatkan dirinya sebagai ada bagi yang lain karena dia kontingen, tanpa dasar yang menopang. cara mudah memahaminya adalah Etre-en-soi adalah benda-benda, objek yang memiliki kesatuan dengan dirinya sendiri. Seperti contoh batu besar yang tetap berada pada tempatnya, tidak bertambah besar/kecil, tidak berpindah dan tidak berubah selamanya.
b.)    Etre-Pour-Soi (being-for-itself) ada-bagi-dirinya.
Lawan dari etre-en-soi menurut Sartre adalah Etre-Pour-Soi (being-for-itself) yang berarti ada bagi dirinya. Ada-bagi dirinya berkaitan dengan kesadaran bahwa manusia memiliki kesadaran akan dirinya bahwa dia ada. Kesadaran bahwa dirinya ada hendak mengatakan suatu cara berada manusia. Dengan kata lain, manusia hubungan dengan dirinya sendiri. Sehingga kesadaran manusia muncul seiring dengan hadirnya sesuatu (objek) yang ada di depannya. Namun, sesuatu yang disadari itu bukanlah dirinya. Ketidak identikan manusia dengan apa yang disadarinya menunjukkan bahwa kesadaran itu negativitas, yaitu suatu kesadaran yang menunjukkan bahwa Etre-Pour-Soi itu memiliki ciri “it is not what it is.”Artinya, ketidakidentikkan manusia dengan dirinya memiliki aspek kesadaran yang menidak. Cara mudah untuk memahami Etre-Pour-Soi adalah Ada yang berkesadaran. Bagi Sartre, manusia adalah makhluk yang membawa “ketiadaan”. Aktivitas Etre-Pour-Soi adalah menidakan apa yang ada. Sartre menyimpulkan bahwa ketiadaan muncul dengan menidakan dunia..

3.    Pengamalan En-soi dan Pour-Soi Dalam Kehidupan Manusia
Manusia sebagai en-soi adalah manusia yang tidak berkesadaran. Statusnya sama seperti kambing, sayuran, dan batu. Dia dilihat hanyalah seonggok benda saja. "Dia gelap bagi diri sendiri, karena padat dan penuh dengan diri sendiri". Apa yang ada adalah identik dengan dirinya sendiri, It is what it is. Keadan ini bersifat masif, tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, self-contained, dan tidak ada hubungan dengan apa pun juga . Menurut Sarte En-soi itu ada karena ada secara kebetulan, dan bukan ciptaan tuhan. Karena, andaikata diciptakan Tuhan maka, en-soi itu ada didalam pikiran Tuhan atau diluarnya. Bila didalam, maka belum tercipta, bila diluar maka ia bukan ciptaan karena berdiri sendiri.
Sedangkan dalam Etre-Pour-Soi manusia sudah mempunyai kesadaran tentang sesuatu diluar dirinya . Sadar akan adanya Subjek dan Objek, sadar bahwa ada jarak antara diri dan kesadaran. Dan sadar akan sesuatu, akan adanya jarak, bagi Sartre adalah meniadakan (neantiser) sesuatu. Sadar akan diri sendiri adalah meniadakan diri sendiri. Ketika menjadi pour-soi, pengada itu menjadi retak, karena ia mempunyai kesadaran.
Memang kesadaran menghubungkan subjek dengan yang bukan subyek (objek) tetapi juga memecah, meretakkan yang utuh menjadi banyak, yang padat menjadi tidak padat, yang sendiri menjadi tidak sendiri lagi. Itu semua ditiadakan (le Neant). Dia sekarang tidak identik dengan dirinya sendiri. A bukanlah A karena sadar tentang dirinya. Contohnya : ketika A sedang berbuat, dia sadar bahwa dia sedang mengadakan perubahan, peralihan, berproses untuk 'menjadi', dia sadar bahwa dia sedang melakukan peralihan itu. Peniadaan itu terjadi terus menerus, tidak pernah berhenti sebab manusia tidak pernah berhenti berbuat sesuatu. Dia selalu bukan dia, karena selalu meluncur ke dia. Dia selalu membelum. Jadi, proses itu tidak pernah selesai ,selalu meniadakan dirinya dan berusaha untuk menjadi dia yang lain. Justru karena kebebasannya bereksistensi itu dipandang sebagai sebuah kutukan, hukuman, dan keterpaksaan.
Etre-Pour-Soi selalu ingin menjadi etre-en-soi-pour-soi, sekaligus keduanya, dan itu tidak akan pernah terjadi (kalaupun ada berarti itu milik Tuhan, sesuatu yang ditolak Sartre, karena tidak mungkin en-soi dan pour-soi bersatu). Itulah kesia-siaan, dan itulah eksistensi manusia. Manusia selalu meniada dan tidak bisa tidak harus terus meniada. Tidak ada aspek membangun,tidak ada ketetapan. Proses itu adalah suatu kesia-siaan karena tidak mungkin bisa menyatu antara en-soi dan pur-soi, dan proses itu berhenti ketika kematian tiba.
Tujuan dari pengamalan tersebut dalam sisi positifnya adalah kesadaran dan kebebasan terletak pada eksistensi manusia, keberadaan manusia yang sejati, yang merupakan produk dari perbuatan-perbuatan bebas manusia. Sartre mengungkapkan bahwa menjadi diri kita sendiri hanya mungkin jika kita memilih sendiri dan menentukan sendiri bentuk eksistensi kita. Walaupun kesadaran atau kebebasan tersebut sepertinya dibebankan pada manusia yang bukan karena pilihannya, manusia tetap memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk mengubah situasi tersebut melalui perbuatan dan usaha yang dipilih dan ditentukan oleh diri manusia sendiri. Situasi yang dibebankan kepada manusia, misalnya : berupa lingkungan yang buruk dan keras, cacat tubuh, atau pun peperangan, justru menjadi prasyarat bagi kebebasan. Kebebasan tidak mungkin terwujud tanpa situasi-situasi yang sudah tersedia atau situasi-situasi yang tidak dipilihnya sendiri.
Memang filsafat Sartre penuh oleh dilema. Sebenarnya kekacauan filsafat Sartre disebabkan oleh pandangannya yang ateis. Apa yang tidak dapat diselesaikannya itu sesungguhnya dapat diselesaikan dalam teisme. Pada akhir uraiannya tentang Sartre, Drijarkara menulis sebagai berikut (Drijakara:89):
“Bagaimanapun juga, tampaklah dalam uraian diatas, bahwa pikiran Sartre bentrokan dengan realitas. Kita akui bahwa buah pikiram Sartre memuat pandangan-pandangan yang bagus. Akan tetapi dasar-dasarnya tidak tahan uji.”

C.    KESIMPULAN

En-soi dan pour-soi terdapat dalam karya utama Jean Paul Sartre, yakni L’être et le nêat (Being and Nothingness) Ada dan Tiada. Jean Paul Sartre adalah tokoh Eksistensialisme yang hidup pada abad ke-20an. etre-en-soi (being-in-itself) yang berarti: ada-dalam-dirinya dapat dicontohkan sebagai benda mati yang tetap dan tidak berubah, sedangkan Etre-Pour-Soi (being-for-itself) yang berarti: ada-bagi-dirinya dapat dikatakan sebagai kesadaran manusia mengenai adanya dirinya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Edwards, Paul (ed). The Encyclopedia of Philosophy (Vol 5-8). MacMillan Publishing Co : New York, 1972.
Hamersma, Herry. 1983. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern.Jakarta: Gramedia
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius:  Yogyakarta,1980.
Najwa, Nina., 2015. Eksistensi Kesadaran Manusia, Jean Paul Sartre. Kompasiana http://www.kompasiana.com/eksistensi-kesadaran-manusia-jean-paul-sarte.html di unduh pada 23 pebruari 2017
Sartre, Jean-Paul., 1992 Being and Nothingness (the Principle text of modern existentialism). Philosophical Library, Washington:.
_______________, 2002, Eksistensialisme dan Humanisme, Pustaka Pelajar.



BAGAIMANA PEMIKIRAN AL MATURIDI TENTANG MELIHAT TUHAN

BAGAIMANA PEMIKIRAN AL MATURIDI TENTANG MELIHAT TUHAN
Halaqoh Ilmiah
Dipresentasikan pada tanggal 27 Desember 2016

Pengasuh:
Alm. Prof. DR. Kyai H. Achmad Mudlor, SH.
Oleh:
Abdullah Mujahid
Mahasiswa Semester XI
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Program Studi Agroekoteknologi
Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya



 LEMBAGA TINGGI PESANTREN LUHUR MALANG DESEMBER 2016


A.    PENDAHULUAN
Kita sebagai penganut Ahl as-Sunnah wa a-Jama’ah sudah semestinya tau dalam berakidah mengikuti imam Abu hasan Al-Asy’ari dan imam Abu Manshur al-Maturidi.Teologi sebagai sebuah pembahasan ajaran-ajaran yang mendasar dari suatu agama dimana termasuk mengembangkan paham tentang Tuhan. Islam sebagai agama tentunya tidak lepas dari adanya teologi.
Pemikiran Asy’ariyah berhadapan langsung dengan keompok Mu’tazilah, tapi Maturidiyah menghadapi berbagai kelompok yang cukup banyak. Di antara kelompok yang muncu pada waktu itu adalah Mu’tazilah, Mujassimah, Qaramithah, Jahmiyah. Juga kelompok agama lain, seperti Yahudi, Majusi dan Nasranidalam jumlah yang besar. Pada paper ini akan dibahas menegenai bagaimana pemikiran Al-Maturidi tentang melihat tuhan.


B.    PEMBAHASAN
1.    Biografi Al-Maturidy
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Abu Mansur Al-Maturidi, ia di lahirkan di sebuah kota yang bernama “maturid” didaerah Samarqand, Asia tengah (termasuk daerah Uzbekistan). Ia diperkirakan lahir pada tahun 270 H. Ia memiliki faham (I’tiqad) sama atau hampir sama dengan Imam al-Asy’ari, ia wafat di desa Maturidy 10 tahun sesudah wafatnya Imam Abu Hasan al-Asy’ari yaitu pada tahun 333 H/ 944 M beliau berjasa besar dalam mengumpulkan, memperinci, dan mempertahankan I’tiqad Ahlussunnah wal-Jama’ah itu sebagaimananya dengan Imam al-Asy’ari.
2.    Pemikiran Al-Maturidy
Dunia Islam dahulu sampai sekarang menganggap kedua Imam ini adalah pembangun manhaj Ahlussunnah wal-Jama’ah. Berkata Sayid az-Zabidi, pengarang kitab “Ittikhafus sadatul Muttaqien” yaitu kitab yang mensyarahi kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Ghazali;

إذ أطلق أهل السنة والجماعة فالمرادبهم الأشاعرة والماتريدية
اتحاف سادات المتقينج2ص

6
“Apabila Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksudkan adalah pengikut madzhab al-Asy‟ari dan al-Maturidi.”[15]
Selain itu, aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis di mana yang berada di barisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualis di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabillah (para pengikut Imam Ibnu Hambal). aliran Asy’ariyah di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyah di Samarkand dan di daerah-daerah di seberang sungai (Oxus-pen). Kedua aliran ini bisa hidup dalam lingkungan yang kompleks dan membentuk satu mazhab. Nampak jelas bahwa perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah Fiqh kedua aliran ini merupakan faktor pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang Hanafiah (para pengikut Imam Hanafi) membentengi aliran Maturidiyah, dan para pengikut Imam al-Syafi’i dan Imam al-Malik mendukung kaum Asy’ariyah.
Seperti yang kita ketahui, al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah (aliran teologi yang amat mementingkan akal dan dalam memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah kemampuan akal manusia. Maka dari itu, Al-Maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kerana itu juga, aliran Maturiyah sering disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”.[18]
Al Maturidi memiliki banyak buku termasuk, “Ushul Fiqh”, “Tafsir”, “Takwil” yang dia gunakan untuk menyerang Jahmiyah dan salah satu bukunya yang terkenal yaitu “Kitab al-Tauhid”. Dalam “Kitab al-Tauhid”, tidak disebutkan tentang Tauhid Uluhiyah, pembicarannya murni tentang Tauhid Rububiyah dan sesuatu yang berhubungan kepada Tanzih
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal dalam hal ini ia sama dengan Al-asy’ari. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut.
Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya. Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam,[21] yaitu:
1.    Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu
2.    Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu
3.    Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari. Pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan aliran al-Asy'ariyah dalam merad pendapat-pendapat Mu'tazilah.Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan ajaran mereka atau dalam masalah cabang.
Pemikiran-pemikiran al Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.

3.    Tentang Melihat Tuhan  (Ru’yatullah)
Maturidi menetapkan bahwa tuhan bisa dilihat mata kepala manusia nanti di akhirat, namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.karena ia mempunyai wujud Ru’yatullah dihari akhirat termasuk perihal kiamat, hanya Allah yang mengetahui perihal kiamat. Kita ‘kata maturidi’ tidak mengetahuinya kecuali ibarat yang terdapat dalam nash. Tidak perlu kita menanyakan bagaimana caranya nanti melihat Tuhan itu. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur’an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23.



Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannyalah mereka melihat. [QS. Al-Qiyamah(75:22-23)]
Sedangkan dalam melihat Tuhan di alam dunia, pendapat Al-Maturidi tidak jauh beda dengan Asy’ari bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah. Al-Maturidi juga mengedepankan Akal dan rasio karena akal dapat membantu manusia untuk memahami adanya Allah/keesaan Allah, sifat dan dzat Allah
Dalam Sifat tuhan faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.


C.    KESIMPULAN
Abu Mansur Al-Maturidi adalah pencetus aliran Al-Maturidiah pembangun manhaj Ahlussunnah wal-Jama’ah bersama Abu Hasan Al-Asy’ari. Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam pemikirannya tuhan bisa dilihat mata kepala manusia nanti di akhirat sedangkan di dunia kita melihat tuhan sifat-sifatNya.




DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Cet. X; Jakarta:Bulan Bintang, 1993, h. 70.
Anonim. 2016. .http://abasawatawalla01.blogspot.com/2013/06/seajarah-dan-pemikiran-al-asy-dan-l.html/ diakses 25 desember pukul 08.03 WIB
Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafat al-Islamiyah, terj. Yudian Wahyudi Asmin dengan judul, Aliran dan Teori Filsafat Islam Cet.1 ; Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
Rozak, Abdul & Anwar, Rohison, Ilmu Kalam. CV Pustaka Setia, Bandung, 2009
Sahilun A. Nasir, PemikiranKalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, danPerkembangannya, Jakarta: RajagrafindoPersada, 2010, h. 187