Selasa, 11 April 2017

JELASKAN PERBEDAAN EN-SOI DAN POUR-SOI

JELASKAN PERBEDAAN EN-SOI DAN POUR-SOI
Paper Halaqoh
Disajikan pada 25 Pebruari 2017

PENGASUH:
Alm.  Prof. Dr. KH. Ahmad Mudlor, S.H.

Oleh :
Abdullah Mujahid
Mahasiswa Semester XII
Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya Malang



Halaqoh Ilmiah
LEMBAGA TINGGI PESANTREN LUHUR MALANG
Pebruari 2017



A.    PENDAHULUAN

Jika kita mendalami en-soi dan pour-soi maka kita akan bertemu dengan kajian keilmuan dari filsafat dan humaniora. En-soi dan pour-soi dapat kita temukan pada dalam karya utama Sartre, yakni L’être et le nêat (Being and Nothingness), atau dalam bahasa Indonesia yakni “Ada dan Tiada” istilah tersebut merupakan buah pemikiran seorang filusuf bernama Jean Paul Sartre, beliau adalah penganut filsafat eksistensialisme. Beliau juga dipengaruhi oleh corak filsafat rasionalisme dan idealisme dari deskartes, Kant, Hegel sampai fenomologi husserl serta Martin Heidegger. Apa yang dimaksud dengan En-soi dan pour soi, maksud dan tujuanya akan dibahas pada bab selanjutnya.

B.    PEMBAHASAN

1.    Tentang Jean Paul Sartre

Jean Paul Sartre adalah tokoh Eksistensialisme yang hidup pada abad ke-20an. Dia lahir di Paris, Perancis pada tanggal 21 Juni 1905, dan meninggal pada tanggal 15 April 1980. Pada bidang pendidikan ia termasuk orang yang cukup intelektual. Pada waktu di Jerman dia bertemu dan belajar pada Husserl, yang mana ini merupakan nilai sejarah tersendiri bagi perkembangan pemikiran Sartre di kemudian hari.
Sartre sejak kecil hidup dalam lingkungan religius. Tetapi, justru kebalikannya ia anti dengan agama dan Tuhan. Dia mengembangkan filsafatnya dengan corak ateis. Corak filsafat Sartre dipengaruhi oleh Rasionalisme dan Idealisme, yakni dari Descartes, Kant, Hegel sampai fenomenologi Husserl serta Martin Heidegger. Filsuf-filsuf tersebut sangat penting nilainya bagi Sartre, namun dalam tulisannya, ia kerap melontarkan kritik-kritik terhadap mereka. Husserl, Heidegger dan Hegel mempunyai peran penting dalam karya utama Sartre, yakni L’être et le nêat (Being and Nothingness), atau dalam bahasa Indonesia yakni “Ada dan Tiada” yang berusaha memahami eksistensi manusia.

2.    Perbedaan En-soi dan Pour-Soi
Dalam karya monumentalnya tentang L’être et le nêat (Being and Nothingness) Satre memdikotomikan status ontologis manusia menjadi dua atau dua cara manusia berada di dunia yaitu, etre-en-soi (being-in-itself) yang berarti: ada-dalam-dirinya. dan Etre-Pour-Soi (being-for-itself) yang berarti: ada-bagi-dirinya.
a.)    Etre-en-soi (being-in-itself) identik dengan dirinya
disebut sebagai Ada yang tidak sadar (non-conscious-being) sehingga ia tidak mampu memberi makna pada eksistensinya. tidak aktif dan tidak negatif. Etre-en-soi itu tidak memiliki masa depan dan tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Etre-en-soi merupakan suatu tipe eksistensi benda-benda yang tidak berkesadaran dan padat, artinya kesadaran yangmenjadi bentuk dari kehadiran diri terhadap diri sendiri Maka, etre-en-soi tidak pernah ada dan tidak pernah dapatmenempatkan dirinya sebagai ada bagi yang lain karena dia kontingen, tanpa dasar yang menopang. cara mudah memahaminya adalah Etre-en-soi adalah benda-benda, objek yang memiliki kesatuan dengan dirinya sendiri. Seperti contoh batu besar yang tetap berada pada tempatnya, tidak bertambah besar/kecil, tidak berpindah dan tidak berubah selamanya.
b.)    Etre-Pour-Soi (being-for-itself) ada-bagi-dirinya.
Lawan dari etre-en-soi menurut Sartre adalah Etre-Pour-Soi (being-for-itself) yang berarti ada bagi dirinya. Ada-bagi dirinya berkaitan dengan kesadaran bahwa manusia memiliki kesadaran akan dirinya bahwa dia ada. Kesadaran bahwa dirinya ada hendak mengatakan suatu cara berada manusia. Dengan kata lain, manusia hubungan dengan dirinya sendiri. Sehingga kesadaran manusia muncul seiring dengan hadirnya sesuatu (objek) yang ada di depannya. Namun, sesuatu yang disadari itu bukanlah dirinya. Ketidak identikan manusia dengan apa yang disadarinya menunjukkan bahwa kesadaran itu negativitas, yaitu suatu kesadaran yang menunjukkan bahwa Etre-Pour-Soi itu memiliki ciri “it is not what it is.”Artinya, ketidakidentikkan manusia dengan dirinya memiliki aspek kesadaran yang menidak. Cara mudah untuk memahami Etre-Pour-Soi adalah Ada yang berkesadaran. Bagi Sartre, manusia adalah makhluk yang membawa “ketiadaan”. Aktivitas Etre-Pour-Soi adalah menidakan apa yang ada. Sartre menyimpulkan bahwa ketiadaan muncul dengan menidakan dunia..

3.    Pengamalan En-soi dan Pour-Soi Dalam Kehidupan Manusia
Manusia sebagai en-soi adalah manusia yang tidak berkesadaran. Statusnya sama seperti kambing, sayuran, dan batu. Dia dilihat hanyalah seonggok benda saja. "Dia gelap bagi diri sendiri, karena padat dan penuh dengan diri sendiri". Apa yang ada adalah identik dengan dirinya sendiri, It is what it is. Keadan ini bersifat masif, tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, self-contained, dan tidak ada hubungan dengan apa pun juga . Menurut Sarte En-soi itu ada karena ada secara kebetulan, dan bukan ciptaan tuhan. Karena, andaikata diciptakan Tuhan maka, en-soi itu ada didalam pikiran Tuhan atau diluarnya. Bila didalam, maka belum tercipta, bila diluar maka ia bukan ciptaan karena berdiri sendiri.
Sedangkan dalam Etre-Pour-Soi manusia sudah mempunyai kesadaran tentang sesuatu diluar dirinya . Sadar akan adanya Subjek dan Objek, sadar bahwa ada jarak antara diri dan kesadaran. Dan sadar akan sesuatu, akan adanya jarak, bagi Sartre adalah meniadakan (neantiser) sesuatu. Sadar akan diri sendiri adalah meniadakan diri sendiri. Ketika menjadi pour-soi, pengada itu menjadi retak, karena ia mempunyai kesadaran.
Memang kesadaran menghubungkan subjek dengan yang bukan subyek (objek) tetapi juga memecah, meretakkan yang utuh menjadi banyak, yang padat menjadi tidak padat, yang sendiri menjadi tidak sendiri lagi. Itu semua ditiadakan (le Neant). Dia sekarang tidak identik dengan dirinya sendiri. A bukanlah A karena sadar tentang dirinya. Contohnya : ketika A sedang berbuat, dia sadar bahwa dia sedang mengadakan perubahan, peralihan, berproses untuk 'menjadi', dia sadar bahwa dia sedang melakukan peralihan itu. Peniadaan itu terjadi terus menerus, tidak pernah berhenti sebab manusia tidak pernah berhenti berbuat sesuatu. Dia selalu bukan dia, karena selalu meluncur ke dia. Dia selalu membelum. Jadi, proses itu tidak pernah selesai ,selalu meniadakan dirinya dan berusaha untuk menjadi dia yang lain. Justru karena kebebasannya bereksistensi itu dipandang sebagai sebuah kutukan, hukuman, dan keterpaksaan.
Etre-Pour-Soi selalu ingin menjadi etre-en-soi-pour-soi, sekaligus keduanya, dan itu tidak akan pernah terjadi (kalaupun ada berarti itu milik Tuhan, sesuatu yang ditolak Sartre, karena tidak mungkin en-soi dan pour-soi bersatu). Itulah kesia-siaan, dan itulah eksistensi manusia. Manusia selalu meniada dan tidak bisa tidak harus terus meniada. Tidak ada aspek membangun,tidak ada ketetapan. Proses itu adalah suatu kesia-siaan karena tidak mungkin bisa menyatu antara en-soi dan pur-soi, dan proses itu berhenti ketika kematian tiba.
Tujuan dari pengamalan tersebut dalam sisi positifnya adalah kesadaran dan kebebasan terletak pada eksistensi manusia, keberadaan manusia yang sejati, yang merupakan produk dari perbuatan-perbuatan bebas manusia. Sartre mengungkapkan bahwa menjadi diri kita sendiri hanya mungkin jika kita memilih sendiri dan menentukan sendiri bentuk eksistensi kita. Walaupun kesadaran atau kebebasan tersebut sepertinya dibebankan pada manusia yang bukan karena pilihannya, manusia tetap memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk mengubah situasi tersebut melalui perbuatan dan usaha yang dipilih dan ditentukan oleh diri manusia sendiri. Situasi yang dibebankan kepada manusia, misalnya : berupa lingkungan yang buruk dan keras, cacat tubuh, atau pun peperangan, justru menjadi prasyarat bagi kebebasan. Kebebasan tidak mungkin terwujud tanpa situasi-situasi yang sudah tersedia atau situasi-situasi yang tidak dipilihnya sendiri.
Memang filsafat Sartre penuh oleh dilema. Sebenarnya kekacauan filsafat Sartre disebabkan oleh pandangannya yang ateis. Apa yang tidak dapat diselesaikannya itu sesungguhnya dapat diselesaikan dalam teisme. Pada akhir uraiannya tentang Sartre, Drijarkara menulis sebagai berikut (Drijakara:89):
“Bagaimanapun juga, tampaklah dalam uraian diatas, bahwa pikiran Sartre bentrokan dengan realitas. Kita akui bahwa buah pikiram Sartre memuat pandangan-pandangan yang bagus. Akan tetapi dasar-dasarnya tidak tahan uji.”

C.    KESIMPULAN

En-soi dan pour-soi terdapat dalam karya utama Jean Paul Sartre, yakni L’être et le nêat (Being and Nothingness) Ada dan Tiada. Jean Paul Sartre adalah tokoh Eksistensialisme yang hidup pada abad ke-20an. etre-en-soi (being-in-itself) yang berarti: ada-dalam-dirinya dapat dicontohkan sebagai benda mati yang tetap dan tidak berubah, sedangkan Etre-Pour-Soi (being-for-itself) yang berarti: ada-bagi-dirinya dapat dikatakan sebagai kesadaran manusia mengenai adanya dirinya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Edwards, Paul (ed). The Encyclopedia of Philosophy (Vol 5-8). MacMillan Publishing Co : New York, 1972.
Hamersma, Herry. 1983. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern.Jakarta: Gramedia
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius:  Yogyakarta,1980.
Najwa, Nina., 2015. Eksistensi Kesadaran Manusia, Jean Paul Sartre. Kompasiana http://www.kompasiana.com/eksistensi-kesadaran-manusia-jean-paul-sarte.html di unduh pada 23 pebruari 2017
Sartre, Jean-Paul., 1992 Being and Nothingness (the Principle text of modern existentialism). Philosophical Library, Washington:.
_______________, 2002, Eksistensialisme dan Humanisme, Pustaka Pelajar.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

terima kasih atas masukannya