Tampilkan postingan dengan label Psikologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Psikologi. Tampilkan semua postingan

Selasa, 11 April 2017

JELASKAN PERBEDAAN EN-SOI DAN POUR-SOI

JELASKAN PERBEDAAN EN-SOI DAN POUR-SOI
Paper Halaqoh
Disajikan pada 25 Pebruari 2017

PENGASUH:
Alm.  Prof. Dr. KH. Ahmad Mudlor, S.H.

Oleh :
Abdullah Mujahid
Mahasiswa Semester XII
Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya Malang



Halaqoh Ilmiah
LEMBAGA TINGGI PESANTREN LUHUR MALANG
Pebruari 2017



A.    PENDAHULUAN

Jika kita mendalami en-soi dan pour-soi maka kita akan bertemu dengan kajian keilmuan dari filsafat dan humaniora. En-soi dan pour-soi dapat kita temukan pada dalam karya utama Sartre, yakni L’être et le nêat (Being and Nothingness), atau dalam bahasa Indonesia yakni “Ada dan Tiada” istilah tersebut merupakan buah pemikiran seorang filusuf bernama Jean Paul Sartre, beliau adalah penganut filsafat eksistensialisme. Beliau juga dipengaruhi oleh corak filsafat rasionalisme dan idealisme dari deskartes, Kant, Hegel sampai fenomologi husserl serta Martin Heidegger. Apa yang dimaksud dengan En-soi dan pour soi, maksud dan tujuanya akan dibahas pada bab selanjutnya.

B.    PEMBAHASAN

1.    Tentang Jean Paul Sartre

Jean Paul Sartre adalah tokoh Eksistensialisme yang hidup pada abad ke-20an. Dia lahir di Paris, Perancis pada tanggal 21 Juni 1905, dan meninggal pada tanggal 15 April 1980. Pada bidang pendidikan ia termasuk orang yang cukup intelektual. Pada waktu di Jerman dia bertemu dan belajar pada Husserl, yang mana ini merupakan nilai sejarah tersendiri bagi perkembangan pemikiran Sartre di kemudian hari.
Sartre sejak kecil hidup dalam lingkungan religius. Tetapi, justru kebalikannya ia anti dengan agama dan Tuhan. Dia mengembangkan filsafatnya dengan corak ateis. Corak filsafat Sartre dipengaruhi oleh Rasionalisme dan Idealisme, yakni dari Descartes, Kant, Hegel sampai fenomenologi Husserl serta Martin Heidegger. Filsuf-filsuf tersebut sangat penting nilainya bagi Sartre, namun dalam tulisannya, ia kerap melontarkan kritik-kritik terhadap mereka. Husserl, Heidegger dan Hegel mempunyai peran penting dalam karya utama Sartre, yakni L’être et le nêat (Being and Nothingness), atau dalam bahasa Indonesia yakni “Ada dan Tiada” yang berusaha memahami eksistensi manusia.

2.    Perbedaan En-soi dan Pour-Soi
Dalam karya monumentalnya tentang L’être et le nêat (Being and Nothingness) Satre memdikotomikan status ontologis manusia menjadi dua atau dua cara manusia berada di dunia yaitu, etre-en-soi (being-in-itself) yang berarti: ada-dalam-dirinya. dan Etre-Pour-Soi (being-for-itself) yang berarti: ada-bagi-dirinya.
a.)    Etre-en-soi (being-in-itself) identik dengan dirinya
disebut sebagai Ada yang tidak sadar (non-conscious-being) sehingga ia tidak mampu memberi makna pada eksistensinya. tidak aktif dan tidak negatif. Etre-en-soi itu tidak memiliki masa depan dan tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Etre-en-soi merupakan suatu tipe eksistensi benda-benda yang tidak berkesadaran dan padat, artinya kesadaran yangmenjadi bentuk dari kehadiran diri terhadap diri sendiri Maka, etre-en-soi tidak pernah ada dan tidak pernah dapatmenempatkan dirinya sebagai ada bagi yang lain karena dia kontingen, tanpa dasar yang menopang. cara mudah memahaminya adalah Etre-en-soi adalah benda-benda, objek yang memiliki kesatuan dengan dirinya sendiri. Seperti contoh batu besar yang tetap berada pada tempatnya, tidak bertambah besar/kecil, tidak berpindah dan tidak berubah selamanya.
b.)    Etre-Pour-Soi (being-for-itself) ada-bagi-dirinya.
Lawan dari etre-en-soi menurut Sartre adalah Etre-Pour-Soi (being-for-itself) yang berarti ada bagi dirinya. Ada-bagi dirinya berkaitan dengan kesadaran bahwa manusia memiliki kesadaran akan dirinya bahwa dia ada. Kesadaran bahwa dirinya ada hendak mengatakan suatu cara berada manusia. Dengan kata lain, manusia hubungan dengan dirinya sendiri. Sehingga kesadaran manusia muncul seiring dengan hadirnya sesuatu (objek) yang ada di depannya. Namun, sesuatu yang disadari itu bukanlah dirinya. Ketidak identikan manusia dengan apa yang disadarinya menunjukkan bahwa kesadaran itu negativitas, yaitu suatu kesadaran yang menunjukkan bahwa Etre-Pour-Soi itu memiliki ciri “it is not what it is.”Artinya, ketidakidentikkan manusia dengan dirinya memiliki aspek kesadaran yang menidak. Cara mudah untuk memahami Etre-Pour-Soi adalah Ada yang berkesadaran. Bagi Sartre, manusia adalah makhluk yang membawa “ketiadaan”. Aktivitas Etre-Pour-Soi adalah menidakan apa yang ada. Sartre menyimpulkan bahwa ketiadaan muncul dengan menidakan dunia..

3.    Pengamalan En-soi dan Pour-Soi Dalam Kehidupan Manusia
Manusia sebagai en-soi adalah manusia yang tidak berkesadaran. Statusnya sama seperti kambing, sayuran, dan batu. Dia dilihat hanyalah seonggok benda saja. "Dia gelap bagi diri sendiri, karena padat dan penuh dengan diri sendiri". Apa yang ada adalah identik dengan dirinya sendiri, It is what it is. Keadan ini bersifat masif, tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, self-contained, dan tidak ada hubungan dengan apa pun juga . Menurut Sarte En-soi itu ada karena ada secara kebetulan, dan bukan ciptaan tuhan. Karena, andaikata diciptakan Tuhan maka, en-soi itu ada didalam pikiran Tuhan atau diluarnya. Bila didalam, maka belum tercipta, bila diluar maka ia bukan ciptaan karena berdiri sendiri.
Sedangkan dalam Etre-Pour-Soi manusia sudah mempunyai kesadaran tentang sesuatu diluar dirinya . Sadar akan adanya Subjek dan Objek, sadar bahwa ada jarak antara diri dan kesadaran. Dan sadar akan sesuatu, akan adanya jarak, bagi Sartre adalah meniadakan (neantiser) sesuatu. Sadar akan diri sendiri adalah meniadakan diri sendiri. Ketika menjadi pour-soi, pengada itu menjadi retak, karena ia mempunyai kesadaran.
Memang kesadaran menghubungkan subjek dengan yang bukan subyek (objek) tetapi juga memecah, meretakkan yang utuh menjadi banyak, yang padat menjadi tidak padat, yang sendiri menjadi tidak sendiri lagi. Itu semua ditiadakan (le Neant). Dia sekarang tidak identik dengan dirinya sendiri. A bukanlah A karena sadar tentang dirinya. Contohnya : ketika A sedang berbuat, dia sadar bahwa dia sedang mengadakan perubahan, peralihan, berproses untuk 'menjadi', dia sadar bahwa dia sedang melakukan peralihan itu. Peniadaan itu terjadi terus menerus, tidak pernah berhenti sebab manusia tidak pernah berhenti berbuat sesuatu. Dia selalu bukan dia, karena selalu meluncur ke dia. Dia selalu membelum. Jadi, proses itu tidak pernah selesai ,selalu meniadakan dirinya dan berusaha untuk menjadi dia yang lain. Justru karena kebebasannya bereksistensi itu dipandang sebagai sebuah kutukan, hukuman, dan keterpaksaan.
Etre-Pour-Soi selalu ingin menjadi etre-en-soi-pour-soi, sekaligus keduanya, dan itu tidak akan pernah terjadi (kalaupun ada berarti itu milik Tuhan, sesuatu yang ditolak Sartre, karena tidak mungkin en-soi dan pour-soi bersatu). Itulah kesia-siaan, dan itulah eksistensi manusia. Manusia selalu meniada dan tidak bisa tidak harus terus meniada. Tidak ada aspek membangun,tidak ada ketetapan. Proses itu adalah suatu kesia-siaan karena tidak mungkin bisa menyatu antara en-soi dan pur-soi, dan proses itu berhenti ketika kematian tiba.
Tujuan dari pengamalan tersebut dalam sisi positifnya adalah kesadaran dan kebebasan terletak pada eksistensi manusia, keberadaan manusia yang sejati, yang merupakan produk dari perbuatan-perbuatan bebas manusia. Sartre mengungkapkan bahwa menjadi diri kita sendiri hanya mungkin jika kita memilih sendiri dan menentukan sendiri bentuk eksistensi kita. Walaupun kesadaran atau kebebasan tersebut sepertinya dibebankan pada manusia yang bukan karena pilihannya, manusia tetap memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk mengubah situasi tersebut melalui perbuatan dan usaha yang dipilih dan ditentukan oleh diri manusia sendiri. Situasi yang dibebankan kepada manusia, misalnya : berupa lingkungan yang buruk dan keras, cacat tubuh, atau pun peperangan, justru menjadi prasyarat bagi kebebasan. Kebebasan tidak mungkin terwujud tanpa situasi-situasi yang sudah tersedia atau situasi-situasi yang tidak dipilihnya sendiri.
Memang filsafat Sartre penuh oleh dilema. Sebenarnya kekacauan filsafat Sartre disebabkan oleh pandangannya yang ateis. Apa yang tidak dapat diselesaikannya itu sesungguhnya dapat diselesaikan dalam teisme. Pada akhir uraiannya tentang Sartre, Drijarkara menulis sebagai berikut (Drijakara:89):
“Bagaimanapun juga, tampaklah dalam uraian diatas, bahwa pikiran Sartre bentrokan dengan realitas. Kita akui bahwa buah pikiram Sartre memuat pandangan-pandangan yang bagus. Akan tetapi dasar-dasarnya tidak tahan uji.”

C.    KESIMPULAN

En-soi dan pour-soi terdapat dalam karya utama Jean Paul Sartre, yakni L’être et le nêat (Being and Nothingness) Ada dan Tiada. Jean Paul Sartre adalah tokoh Eksistensialisme yang hidup pada abad ke-20an. etre-en-soi (being-in-itself) yang berarti: ada-dalam-dirinya dapat dicontohkan sebagai benda mati yang tetap dan tidak berubah, sedangkan Etre-Pour-Soi (being-for-itself) yang berarti: ada-bagi-dirinya dapat dikatakan sebagai kesadaran manusia mengenai adanya dirinya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Edwards, Paul (ed). The Encyclopedia of Philosophy (Vol 5-8). MacMillan Publishing Co : New York, 1972.
Hamersma, Herry. 1983. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern.Jakarta: Gramedia
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius:  Yogyakarta,1980.
Najwa, Nina., 2015. Eksistensi Kesadaran Manusia, Jean Paul Sartre. Kompasiana http://www.kompasiana.com/eksistensi-kesadaran-manusia-jean-paul-sarte.html di unduh pada 23 pebruari 2017
Sartre, Jean-Paul., 1992 Being and Nothingness (the Principle text of modern existentialism). Philosophical Library, Washington:.
_______________, 2002, Eksistensialisme dan Humanisme, Pustaka Pelajar.



Jumat, 08 Januari 2016

HIPNOTIS DAN MANFAATNYA


Dipresentasikan pada tanggal 21 Mei 2015

Pengasuh:
Alm. Prof. Dr. Kyai H. Achmad Mudlor, S.H

Oleh:
Abdullah Mujahid




Banyak orang yang menganggap hipnotis sebagai hal mistis dan sering dihubungkan dengan kejahatan seperti pelet ataupun gendam menurut sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun sebenarnya hipnotis adalah ilmu pengatahuan yang telah diakui oleh World Health Organization (WHO) sebagai cara pengobatan yang aman. Di negara maju seperti Amerika dan Inggris, sudah banyak dokter, psikiater, psikolog, maupun hypnotherapist yang menggunakan hipnotis untuk mengatasi masalah fisik maupun psikologis.
Hipnotis bukanlah hal yang bersifat supranatural. Hipnotis tidak mungkin bisa digunakan untuk kejahatan karena hipnotis bukan ilmu untuk menguasai orang lain, Baca selengkapnya Disini



Kamis, 07 Januari 2016

PERTUMBUHAN FASE-FASE NAFSU SEKSUAL PADA MANUSIA


PERTUMBUHAN FASE-FASE NAFSU SEKSUAL PADA MANUSIA


Halaqoh Ilmiah

Dipresentasikan pada tanggal 18 Agustus 2015


Pengasuh:

Alm. Prof. DR. Kyai H. Achmad Mudlor, SH.


Oleh:

Abdullah Mujahid



Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan

Program Studi Agroekoteknologi

Fakultas Pertanian

Universitas Brawijaya




LEMBAGA TINGGI PESANTREN LUHUR MALANG

Agustus 2015



A.    PENDAHULUAN

Setiap individu manusia pasti akan melalui tahapan-tahapan psikologis yang harus dilalui. Antara lain fase psikoseksual yaitu tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan fungsi seksual yang dapat mempengaruhi perkembangan psikologis individu tersebut. Pada umumnya setiap individu akan mengalami fase/tahap psikoseksual dalam tiap tahap perkembangan umurnya (0-18 tahun). Bila individu tersebut gagal melewati suatu masa yang harus dilaluinya sesuai dengan tahap perkembangannya maka akan terjadi gangguan pada diri orang tersebut.

Pada kesempatan ini kita akan membahas mengenai fase-fase psikoseksual yang pasti dilalui setiap individu sesuai dengan tahap perkembangannya.



B.     PEMBAHASAN

fase-fase psikoseksual yang pasti dilalui setiap individu sesuai dengan tahap perkembangannya. Fase-fase tersebut adalah:


1.      Fase oral/mulut (0-18 bulan)

Yaitu fase pertama yang harus dilalui oleh seorang anak sejak dilahirkan. Pada bulan-bulan pertama kehidupan, bayi manusia lebih tidak berdaya dibandingkan dengan bayi binatang menyusui lainnya, dan ketidakberdayaan ini berlangsung lebih lama daripada spesies lain.

Pada mulanya bayi tidak dapat membedakan antara bibirnya dengan puting susu ibunya. Bayi hanya sadar akan kebutuhannya sendiri dan pada waktu menunggu terpenuhi kebutuhannya, bayi menjadi frustasi dan baru sadar akan adanya obyek pemuas pada waktu kebutuhannya terpenuhi.

Reaksi primitif pertama terhadap obyek yaitu bayi berusaha memasukkan semua benda yang dipegangnya ke mulut. Bayi merasa bahwa mulut adalah tempat pemuasan (oral gratification). Rasa lapar dan haus terpenuhi dengan menghisap puting susu ibunya. Kebutuhan-kebutuhan, persepsi-persepsi dan cara ekspresi bayi secara primer dipusatkan di mulut, bibir, lidah dan organ lain yang berhubungan dengan daerah mulut.

Dorongan oral terdiri dari 2 komponen yaitu dorongan libido dan dorongan agresif. Dorongan libido yaitu dorongan seksual pada anak, yang berbeda dengan libido pada orang dewasa. Dorongan libido merupakan dorongan primer dalam kehidupan yang merupakan sumber energi dari ego dalam mengadakan hubungan dengan lingkungan, sehingga memungkinkan pertumbuhan ego. Ketegangan oral akan membawa pada pencarian kepuasan oral yang ditandai dengan diamnya bayi pada akhir menyusui. Sedangkan dorongan agresif dapat terlihat dalam perilaku menggigit, mengunyah, meludah, dan menangis.

Jika pada fase oral ini bayi merasakan kekecewaan yang mendalam, hal ini akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya. Pada waktu dewasa akan mengalami gangguan tingkah laku seksual misalnya kepribadian oral sadistik yang dimanifestasikan dalam penyimpangan seksual sadisme, yaitu kepuasan seks yang dicapai bila didahului atau disertai tindakan yang menyakitkan. Sebaliknya, bila bayi mendapat kepuasan yang berlebihan maka dalam perkembangan selanjutnya dapat menjadi sangat optimis, narcistik (cinta diri sendiri), dan selalu menuntut.


2.      Fase Anal (1 1/2 - 3 tahun)


Fase ini ditandai dengan matangnya syaraf-syaraf otot sfingter anus sehingga anak mulai dapat mengendalikan beraknya. Pada fase ini kepuasan dan kenikmatan anak terletak pada anus. Kenikmatan didapatkan pada waktu menahan berak. Kenikmatan lenyap setelah berak selesai.

Jika kenikmatan yang sebenarnya diperoleh anak dalam fase ini ternyata diganggu oleh orangtuanya dengan mengatakan bahwa hasil produksinya kotor, jijik dan sebagainya, bahkan jika disertai dengan kemarahan atau bahkan ancaman yang dapat menimbulkan kecemasan, maka hal ini dapat mengganggu perkembangan kepribadian anak. Dimana pada perkembangan seksualitas deawasa anak merasa jijik (kotor) terhadap alat kelaminnya sendiri dan tidak dapat menikmati hubungan seksual dengan partnernya.

Oleh karena itu sikap orangtua yang benar yaitu mengusahakan agar anak merasa bahwa alat kelamin dan anus serta kotoran yang dikeluarkannya adalah sesuatu yang biasa (wajar) dan bukan sesuatu yang menjijikkan. Hal ini penting, karena akan mempengaruhi pandangannya terhadap seks nantinya. Jika terjadi hambatan pada fase anal, anak dapat mengembangkan sifat-sifat tidak konsisten, kerapian, keras kepala, kesengajaan, kekikiran yang merupakan karakter anal yang berasal dari sisa-sisa fungsi anal. Jika pertahanan terhadap sifat-sifat anal kurang efektif, karakter anal menjadi ambivalensi (ragu-ragu) berlebihan, kurang rapi, suka menentang, kasar dan cenderung sadomsokistik (dorongan untuk menyakiti dan disakiti). Karakter anal yang khas terlihat pada penderita obsesif kompulsif. Penyelesaian fase anal yang berhasil, menyiapkan dasar untuk perkembangan kemandirian, kebebasan, kemampuan untuk menentukan perilaku sendiri tanpa rasa malu dan ragu-ragu, kemampuan untuk menginginkan kerjasama yang baik tanpa perasaan rendah diri.


3. Fase Uretral

Pada fase ini merupakan perpindahan dari fase anal ke fase phallus. Erotik uretral mengacu pada kenikmatan dalam pengeluaran dan penahanan air seni seperti pada fase anal. Jika fase uretral tidak dapat diselesaikan dengan baik, anak akan mengembangkan sifat uretral yang menonjol yaitu persaingan dan ambisi sebagai akibat timbulnya rasa malu karena kehilangan kontrol terhadap uretra. Jika fase ini dapat diselesaikan dengan baik, maka anak akan mengembangkan persaingan sehat, yang menimbulkan rasa bangga akan kemampuan diri. Anak laki-laki meniru dan membandingkan dengan ayahnya. Penyelesaian konflik uretra merupakan awal dari identitas gender dan identifikasi selanjutnya.


4.      Fase Phallus (3-5 tahun)


 Pada fase ini anak mula mengerti bahwa kelaminnya berbeda dengan kakak, adik atau temannya. Anak mulai merasakan bahwa kelaminnya merupakan tempat yang memberikan kenikmatan ketika ia mempermainkan bagian tersebut. Tetapi orangtua sering marah bahkan mengeluarkan ancaman bila melihat anaknya memegang atau mempermainkan kelaminnya.

Pada fase ini, anak laki-laki dapat timbul rasa takut bahwa penisnya akan dipotong (dikebiri). Ketakutan yang berlebihan tersebut dapat menjadi dasar penyebab gangguan seksual seperti impotensi primer dan homoseksual. Pada fase ini muncul rasa erotik anak terhadap orangtua dari jenis kelamin yang berbeda. Rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang berhubungan dengan seks tampak dalam tingkah laku anak, misalnya membuka rok ibunya, meraba buah dada atau alat kelamin orangtuanya.

 Daya erotik anak laki-laki terhadap ibunya, disertai rasa cemburu terhadap ayahnya, dan keinginan untuk mengganti posisi ayah disamping ibu, disebut kompleks Oedipus. Untuk anak wanita disebut kompleks Elektra. Kompleks elektra biasanya disertai rasa rendah diri karena tidak mempunyai kelamin seperti anak laki-laki dan merasa takut jika terjadi kerusakan pada alat kelaminnya. Bila kompleks oedipus/elektra tidak dapat diselesaikan dengan baik, dapat menyebabkan gangguan emosi pada kemudian hari.


5.      Fase Latensi (5/6 tahun-11/13 tahun)


Pada fase ini semua aktifitas dan fantasi seksual seakan-akan tertekan, karena perhatian anak lebih tertuju pada hal-hal di luar rumah. Tetapi keingin-tahuan tentang seksualitas tetap berlanjut. Dari teman-teman sejenisnya anak-anak juga menerima informasi tentang seksualitas yang sering menyesatkan. Keterbukaan dengan orangtua dapat meluruskan informasi yang salah dan menyesatkan itu. Pada fase ini dapat terjadi gangguan hubungan homoseksual pada laki-laki maupun wanita. Kegagalan dalam fase ini mengakibatkan kurang berkembangnya kontrol diri sehingga anak gagal mengalihkan energinya secara efisien pada minat belajar dan pengembangan ketrampilan.


6.      Fase genital (11/13 tahun-Dewasa)


Pada fase ini, proses perkembangan psikoseksual mencapai "titik akhir". Organ-organ seksual mulai aktif sejalan denga mulai berfungsinya hormon-hormon seksual, sehingga pada saat ini terjadi perubahan fisik dan psikis. Secara fisik, perubahan yang paling nyata adalah pertumbuhan tulang dan perkembangan organ seks serta tanda-tanda seks sekunder.

Remaja putri mencapai kecepatan pertumbuhan maksimal pada usia sekitar 12- 13 tahun, sedangkan remaja putra sekitar 14-15 tahun. Akibat perbedaan waktu ini, biasanya para gadis tampak lebih tinggi daripada anak laki-laki seusia pada periode umur 11-14 tahun Perkembangan tanda seksual sekunder pada gadis adalah pertumbuhan payudara, tumbuhnya rambut pubes dan terjadinya menstruasi, pantat mulai membesar, pinggang ramping dan suara feminin.

Sedangkan pada anak laki-laki terlihat buah pelir dan penis mulai membesar, tumbuhnya rambut pubes, rambut kumis, suara mulai membesar. Terjadi mimpi basah, yaitu keluarnya air mani ketika tidur (mimpi basah). Bersamaan dengan perkembangan itu, muncullah gelombang nafsu birahi baik pada laki-laki maupun wanita. Secara psikis, remaja mulai mengalami rasa cinta dan tertarik pada lawan jenisnya. Kegagalan dalam fase ini mengakibatkan kekacauan identitas.

Fase genital berlanjut sampai orang tutup usia, dimana puncak perkembangan seksual dicapai ketika orang dewasa mengalami kemasakan kepibadian. Ini ditandai dengan kemasaka tanggung jawab seksual sekaligus tanggung jawab sosial, mengalami kepuasan melalui hubungan cinta heteroseksual tanpa diikuti dengan perasaan berdosa atau perasaan bersalah. Pemasan impuls libido melalui hubungan seksual memungkinkan kontrol fisiologis terhadap impuls genital itu; sehinggaakan membebaskan begitu banyak energi psikis yang semula dipakai untuk mengontrol libido, merepres perasaan berdosa, dan dipakai dalam konflik antara id-ego-superego dalam menagani libido itu. Enerji itulah yang kemudian dipakai untuk aktif menangani masalah-masalah kehidupan dewasa; belajar bekerja, menunda kepuasan, menjadi lebih bertanggung jawab.


Itulah fase-fase psikoseksesual yang harus dialami oleh tiap-tiap individu. Pada dasarnya fase-fase tersebut didasari dengan suatu kenikmatan yang dirasakan oleh tubuh. Dengan mengetahui akibat-akibat yang ditimbulkan bila gagal ataupun berhasil dalam melewati tiap fase, maka hendaknya orangtua dan para pendidik dapat mengambil manfaatnya, sehingga kita dapat memberikan kesehatan mental putra-putri kita sedini mungkin.




C.    KESIMPULAN

Dalam pertumbuhan nafsu seksual manusia ada 6 fase yang dilalui yaitu: fase oral, fase anal, fase uretral, fase phallus, fasse latensi, dan fase genital. Pada dasarnya fase-fase tersebut didasari dengan suatu kenikmatan yang dirasakan oleh tubuh. Penggolongan tersebut juga bertujuan agar membantu orangtua dalam mendidik anaknya.



DAFTAR PUSTAKA

Syamsu Yusuf IN dan Juntika Nuriichsan .2007. Teori Kepribadian . Bandung .UPI .

Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.