Senin, 29 Februari 2016

TUGAS MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN “OTONOMI DAERAH”


TUGAS MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN“OTONOMI DAERAH”






Disusun Oleh Kelompok 7:
Abdullah Mujahid                          : 115040201111159
Afni Aulia Rahma                          : 115040201111177
Afitania Anggraini                         : 115040201111187
Adisti Zahrotul Pradesta                : 115040201111317

DosenPengampu : Mohamad Anas, M. Phl
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012

A.    Pengertian, Tujuan, dan Dasar Yuridis Otonomi Daerah
Ø  pengertianOtonom Daerah
Otonomi daerah secara definisi adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah tersebut menuurt cara mereka sendiri yang dilihat berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku. Otonom secara bahasa diartikan dengan berdiri sendiri atau dengan pemerintahan sendiri. Sedangkan daerah adalah sebuah wilayah atau teritorial pemerintah. Dengan demikian pengertian secara istilah otonomi daerah adalah kewenangan atau kekuasaan pada suatu daerah yang mengatur dan mengelola daerah tersebut dengan sendiri untuk mencapai tujuan masyarakat daerah tersebut. Dan bila kita lihat lebih luas lagi adalah wewenag pada suatu daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah tersebut.[1]
http://cerdasinstitute.blogspot.com/2009/03/otonomi-daerah.html

Otonomi daerah dapat diartikan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Otonomi daerah secara sempit diartikan sebagai ”mandiri”, sedangkan dalam arti yang luas adalah ”berdaya”. Jadi otonomi daerah yang dimaksud disini adalah pemberian kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah untuk secara mandiri atau berdaya membuat keputusan mengenai kepentingan daerahnya.

Ø  Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah yang dikeluarkan tahun 1999 adalah disatu pihak membebaskan pemerintah pusat dari beban – beban yang tidak perlu menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Dilain pihak, dengan desentralisasi daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestiknya semakin kuat.
Tujuan pelaksanaan otonom daerah dapat pula diperhatikan dari beberapa hal :
1. Dari segi politik, penyelenggaraan otonomi daerah dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan di pusat dan membangun masyarakat yang madani, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan, dan melatih diri dalam menggunakan hak – hak masing – masing.
2. Dari segi pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah untuk mencapai pemerintahan yang efisien.
3. Dari segi sosial budaya, penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan agar perhatian lebih fokus kepada daerah.
4. Dilihat dari segi ekonomi, otonomi daerah perlu diadakan agar masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomidi daerah masing – masing.
Singkatnya tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah mencegah pemusatan kekuasaan, terciptanya pemerintahan yang efisien, dan partisipasi masyarakat untuk membangun di daerahnya masing – masing.[2]
Ø  Landasan Yuridis (Juridsche Grondslag)     
Landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar  kewenangan (bevoegdheid,  competentie) pembuatan Peraturan Daerah.  Apakah kewenangan seseorang pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak.  Dasar hukum kewenangan membentuk Peraturan Daerah sangat diperlukan.  Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan  peraturan karena akan menunjukkan, adanya kewenangan dari pembuat  peraturan, adanya kesesuaian bentuk dengan materi yang diatur, untuk  menghindari peraturan itu batal demi hukum dan agar tidak bertentangan  dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Dengan demikian,  landasan yuridis merupakan dasar hukum ataupun legalitas landasan yang terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya.[3]


B. KRITIK TERHADAP OTONOMI DAERAH
Dalam sepuluh tahun terakhir sejak diselenggarakan kebijakan tentang desentralisasi yang bermula dari terbitnya Undang-Undang N0 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, kritik terhadap pelaksanaan otonomi daerah tidak pernah sepi.
Mantan menteri dalam negri dan Otonomi Daerah sekaligus penggagas kebijakan kebijakan desentralisasi di Indonesia,Prof Dr Ryaas Rasyid mengakui banyak kekecewaan terhadap pelaksanaan otonomi, tetapi belum sampai ada gerakan untuk mengakhiri kebijakan ini dan kembali ke system sentralisasi.
“ Artinya secara nasional kita masih memegang  kesepakatan agar pemerintahan daerah  tetap dilaksanakan berdasarkan azas otonomi. Bahwa disana sini ada ketidakpuasan dan kritik yang keras, hal itu adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Namun sebagian besar kritik dan ketidakpuasan itu lebih mengarah pada implementasinya, bukan pada konsep dasar dan filosofinya,” tutur Ryaas saat menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka Sarwono Prawiroraharjo Memorial Lecture XI di lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Menurut Ryaas pada hakekatnya kebijakan otonomi daerah merupakan jawaban terhadap kepincangan politik,ekonomi pembangunan dan social budaya yang menyertai hubungan pusat dan daerah sepanjang era orde baru. Keadaan yang terbentuk melalui UU Nomor 5/1947 tentang pokok-pokok pemerintahan Daerah telah menciptakan ketergantungan politik dan ekonomi daerah terhadap kekuasaan pemerintah pusat. Kondisi ini menurut Ryaas pada gilirannya berdampak pada terkikisnya identitas lokal berbagai daerah.
Sejalan dengan itu, ketiadaan ruang prakarsa dan kreatifitas daerah yang dipatok melalui UU nomor 5/1974 dan cara implementasinya yang bersifat otoriter telah memberi kontribusi yang signifikan bagi terbentuknya sifat pasif masyarakat dalam merespon berbagai tantangan pembangunan,”kata Ryaas.
Dia mencontohkan masyarakat hanya memberi respon aktifitas kolektif apabila ada program mobilisasi yang di prakarsai pemerintah pusat, seperti keluarga berencana, bimbingan massal sector pertanian, dan koperasi unit desa.
“ Keseragaman pendekatan pemerintah dan pembangunan di seluruh daerah mewarnai perjalanan pemerintah orde baru,” katanya. Ketika Orde Baru runtuh, salah satu  koreksi fundamental yang dilakukan menurut Ryaas adalah hubungan pusat dengan daerah, dan system pemerintahan daerah secara keseluruhan.
Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah.  Ia melahirkan banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:
  1. Kewenangan yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi.
  1. Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
  1. Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
  1. Politik Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis
  1. Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
  1. Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
  1. Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional  secara keseluruhan.
  1. Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.[4]

C. Studi Kasus Munculnya Etnosentris
ETNOSENTRISME, yaitu suatu kecendrungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, terbaik, mutlak, dan dipergunakannya sebagai tolok ukur untuk menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain.
Etnosentrisme nampaknya merupakan gejala sosial yang universal, dan sikap yang demikian biasanya dilakukan secara tidak sadar. Dengan demikian etnosentrisme merupakan kecendrungan tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok lain dengan tolak ukur kebudayaannya sendiri. Sikap etnosentrisme dalam tingkah laku berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes.Akibatnya etnosentrisme penampilan yang etnosentrik, dapat menjadi penyebab utama kesalah pahaman dalam berkomunikasi.
Terdapat 2 jenis etnosentris yaitu: 1. etnosentris infleksibel yakni suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya atau tingkah laku orang lain, 2. Etnosentris fleksibel yakni suatu sikap yang cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain. tidak selamanya primordial merupakan tindakan salah. akan tetapi bisa disaja dinilai sebagai sesuatu yang mesti dipertahankan. dalam sudut pandang ajaran (ritual) misalnya. prilaku primordialisne merupakan unsur terpenting, saat memberlakukan ajaran intinya.
Begini, fitrahnya manusia itu memang terlahir dengan kemampuan untuk membedakan apa yang ada di sekitarnya. Justru akan membawa petaka ketika kita tak mampu mencari persamaan dan perbedaan dengan orang lain di lingkungan sosial. Kategorisasi sosial merupakan usaha fitrah manusia ketika harus berinteraksi dengan sekian banyak orang.
Contoh paling mudah, coba kita ingat lagi momen ketika baru masuk SMA atau kuliah.Dalam menghadapi lingkungan baru dengan banyak orang yang tidak dikenal, kita cenderung mencari orang yang ‘dirasakan’ cocok dengan kita.Mengapa saya memberikan tanda petik untuk kata dirasakan?Karena hal itu sifatnya subjektif. Kecocokan itu bisa berasal dari obrolan yang nyambung, kesamaan gaya berpakaian, atau kesamaan karena sama-sama dimarahi oleh kakak kelas.
Saya ambil contoh kasus pada pilkada DKI Jakarta. Secara kasat mata, kelihatannya proses memilih akan dilakukan oleh warga Jakarta. Tapi tunggu dulu, sebenarnya justru para calon Gubernur yang memilih pemilihnya.Lho kok bisa? Begini, dalam masa kampenye, para calon Gubernur sebenarnya sedang melakukan kategorisasi sosial dengan cara melakukan identifikasi diri mereka terhadap kelompok sosial yang ada di Jakarta. Bang Foke-Nara misalnya, mencoba berpakaian gamis dan berpeci, agar stereotipenya bisa masuk pada alim ulama yang agamis. Mereka mencoba memilih pemilih yang berbasis Islam. Sementara Jokowi-Ahok, berbaju kotak-kotak dengan lengan digulung, untuk menciptakan stereotipe tipe pemimpin pekerja keras dan pemimpin yang merakyat. Sasaran mereka adalah kaum urban Jakarta.
Namun warga Jakarta tidak pasif menunggu ‘dipilih’ oleh sang kandidat. Warga Jakarta tentu saja juga mencari informasi mengenai kompetensi dan pengalaman sang kandidat. Warga yang menginginkan perubahan merasa lebih cocok dengan pasangan Jokowi-Ahok.Sementara warga yang merasa Jakarta sudah cukup baik sehingga tidak perlu ada perubahan signifikan, berafiliasi secara ideologi dengan Foke-Nara. Pada tahap ini, muncul apa yang dinamakan ingroup dan outgruop dalam istilah psikologi sosial. Salah satu ciri ingroup/outgroup adalah membanding-bandingkan dan cenderung akan selalu menilai kelompoknya (ingroup) lebih baik dari kelompok lain. Jika ada hal positif dari kelompok lain, mereka justru menilai hal tersebut sebagai ancaman terhadap eksistensi kelompoknya sehingga harus disaingi dan diusahakan agar menjadi milik kelompoknya. Pembelaan terhadap kelompoknya bisa timbul dalam reaksi yang berlebihan.
Misal, keberhasilan Jokowi-Ahok dalam memimpin di kota sebelumnya tentu menjadi ancaman untuk Foke-Nara dan pendukungnya. Jadi jangan heran jika muncul berbagai macam informasi yang mencoba menepis keberhasilan tersebut. Sebaliknya, pembelaan pendukung Jokowi-Ahok ketika kubunya diserang bisa jadi terlihat berlebihan, dengan cara menjelek-jelekkan Foke secara personal dan sebagainya. Isu perbedaan suku dan agama juga akan dihembuskan, karena kesamaan agama dan suku masih dianggap oleh sebagian orang sebagai faktor kenyamanan dalam berinteraksi sosial.

DAPUS
Kritik Otonomi Daerah Pada Implementasi ( Kompas, 22 Agustus 2011) Jakarta, Kompas.Com
Tim Peneliti Universitas Hasanuddin , 2009. Esensi Dan Urgensitas Peraturan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah online http://www.scribd.com/document_ downloads/direct/51114746?extension=pdf&ft=1354719550&lt= 1354723160&uahk=JvPdQuywC5fpOTulIT/2d79xMT0






[3] Tim Peneliti Universitas Hasanuddin , 2009. Esensi Dan Urgensitas Peraturan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah




[4] KRITIK OTONOMI DAERAH PADA IMPLEMENTASI ( KOMPAS, 22 agustus 2011) Jakarta, kompas.com

Minggu, 14 Februari 2016

TUGAS KULIAH HAMA DAN PENYAKIT PASCA PANEN
“Serangga yang mewakili skala rumah tangga”

OLEH:
  NAMA     : ABDULLAH MUJAHID
  NIM         : 115040201111159
  KELAS    : G

FAKULTAS PERTANIAN
MINAT HAMA PENYAKIT TUMBUHAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014

Serangga yang mewakili skala rumah tangga
1. Kecoa jerman (German Cockroach) Blattella germanica (Linnaeus) [Orthopthera : Blatteliiadae]
Salah satu dari hama rumah tangga yang sangat sering berkelompok dan tersebar secara luas di daerah dingin dunia.



Jumat, 08 Januari 2016

HIPNOTIS DAN MANFAATNYA


Dipresentasikan pada tanggal 21 Mei 2015

Pengasuh:
Alm. Prof. Dr. Kyai H. Achmad Mudlor, S.H

Oleh:
Abdullah Mujahid




Banyak orang yang menganggap hipnotis sebagai hal mistis dan sering dihubungkan dengan kejahatan seperti pelet ataupun gendam menurut sebagian besar masyarakat Indonesia. Namun sebenarnya hipnotis adalah ilmu pengatahuan yang telah diakui oleh World Health Organization (WHO) sebagai cara pengobatan yang aman. Di negara maju seperti Amerika dan Inggris, sudah banyak dokter, psikiater, psikolog, maupun hypnotherapist yang menggunakan hipnotis untuk mengatasi masalah fisik maupun psikologis.
Hipnotis bukanlah hal yang bersifat supranatural. Hipnotis tidak mungkin bisa digunakan untuk kejahatan karena hipnotis bukan ilmu untuk menguasai orang lain, Baca selengkapnya Disini



Penjelasan Friedrich Nietzsche tentang "IF YOU WOULD GO UP HIGH, THEN USE YOUR OWN LEGS! DO NOT GET YOURSELVES CARRIED ALOFT; DO NOT SEAT YOURSELVES ON OTHER PEOPLE'S BACKS AND HEADS "



Oleh: Abdullah Mujahid

Dalam sebuah buku yang berjudul "Also Sprach Zarathustra" (dalam bahasa jerman) dan “Thus Spoke Zarathustra” (dalam bahasa Inggris) karya seorang filusuf jerman yaitu Friedrich Nietzsche pada akhir tahun 1885 adalah sebuah karya filsafat-sastra dan didalam buku tersebut terdapat kata “If you would go up high, then use your own legs! Do not get yourselves carried aloft; do not seat yourselves on other people's backs and heads”. Meskipun hampir semua kalimat dalam buku tersebut mempunyai makna filosofis namun dalam paper kali ini akan dibahas mengenai kata-kata tersebut saja. Baca Selengkapnya Klik Disini

Kamis, 07 Januari 2016

PERTUMBUHAN FASE-FASE NAFSU SEKSUAL PADA MANUSIA


PERTUMBUHAN FASE-FASE NAFSU SEKSUAL PADA MANUSIA


Halaqoh Ilmiah

Dipresentasikan pada tanggal 18 Agustus 2015


Pengasuh:

Alm. Prof. DR. Kyai H. Achmad Mudlor, SH.


Oleh:

Abdullah Mujahid



Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan

Program Studi Agroekoteknologi

Fakultas Pertanian

Universitas Brawijaya




LEMBAGA TINGGI PESANTREN LUHUR MALANG

Agustus 2015



A.    PENDAHULUAN

Setiap individu manusia pasti akan melalui tahapan-tahapan psikologis yang harus dilalui. Antara lain fase psikoseksual yaitu tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan fungsi seksual yang dapat mempengaruhi perkembangan psikologis individu tersebut. Pada umumnya setiap individu akan mengalami fase/tahap psikoseksual dalam tiap tahap perkembangan umurnya (0-18 tahun). Bila individu tersebut gagal melewati suatu masa yang harus dilaluinya sesuai dengan tahap perkembangannya maka akan terjadi gangguan pada diri orang tersebut.

Pada kesempatan ini kita akan membahas mengenai fase-fase psikoseksual yang pasti dilalui setiap individu sesuai dengan tahap perkembangannya.



B.     PEMBAHASAN

fase-fase psikoseksual yang pasti dilalui setiap individu sesuai dengan tahap perkembangannya. Fase-fase tersebut adalah:


1.      Fase oral/mulut (0-18 bulan)

Yaitu fase pertama yang harus dilalui oleh seorang anak sejak dilahirkan. Pada bulan-bulan pertama kehidupan, bayi manusia lebih tidak berdaya dibandingkan dengan bayi binatang menyusui lainnya, dan ketidakberdayaan ini berlangsung lebih lama daripada spesies lain.

Pada mulanya bayi tidak dapat membedakan antara bibirnya dengan puting susu ibunya. Bayi hanya sadar akan kebutuhannya sendiri dan pada waktu menunggu terpenuhi kebutuhannya, bayi menjadi frustasi dan baru sadar akan adanya obyek pemuas pada waktu kebutuhannya terpenuhi.

Reaksi primitif pertama terhadap obyek yaitu bayi berusaha memasukkan semua benda yang dipegangnya ke mulut. Bayi merasa bahwa mulut adalah tempat pemuasan (oral gratification). Rasa lapar dan haus terpenuhi dengan menghisap puting susu ibunya. Kebutuhan-kebutuhan, persepsi-persepsi dan cara ekspresi bayi secara primer dipusatkan di mulut, bibir, lidah dan organ lain yang berhubungan dengan daerah mulut.

Dorongan oral terdiri dari 2 komponen yaitu dorongan libido dan dorongan agresif. Dorongan libido yaitu dorongan seksual pada anak, yang berbeda dengan libido pada orang dewasa. Dorongan libido merupakan dorongan primer dalam kehidupan yang merupakan sumber energi dari ego dalam mengadakan hubungan dengan lingkungan, sehingga memungkinkan pertumbuhan ego. Ketegangan oral akan membawa pada pencarian kepuasan oral yang ditandai dengan diamnya bayi pada akhir menyusui. Sedangkan dorongan agresif dapat terlihat dalam perilaku menggigit, mengunyah, meludah, dan menangis.

Jika pada fase oral ini bayi merasakan kekecewaan yang mendalam, hal ini akan mempengaruhi perkembangan selanjutnya. Pada waktu dewasa akan mengalami gangguan tingkah laku seksual misalnya kepribadian oral sadistik yang dimanifestasikan dalam penyimpangan seksual sadisme, yaitu kepuasan seks yang dicapai bila didahului atau disertai tindakan yang menyakitkan. Sebaliknya, bila bayi mendapat kepuasan yang berlebihan maka dalam perkembangan selanjutnya dapat menjadi sangat optimis, narcistik (cinta diri sendiri), dan selalu menuntut.


2.      Fase Anal (1 1/2 - 3 tahun)


Fase ini ditandai dengan matangnya syaraf-syaraf otot sfingter anus sehingga anak mulai dapat mengendalikan beraknya. Pada fase ini kepuasan dan kenikmatan anak terletak pada anus. Kenikmatan didapatkan pada waktu menahan berak. Kenikmatan lenyap setelah berak selesai.

Jika kenikmatan yang sebenarnya diperoleh anak dalam fase ini ternyata diganggu oleh orangtuanya dengan mengatakan bahwa hasil produksinya kotor, jijik dan sebagainya, bahkan jika disertai dengan kemarahan atau bahkan ancaman yang dapat menimbulkan kecemasan, maka hal ini dapat mengganggu perkembangan kepribadian anak. Dimana pada perkembangan seksualitas deawasa anak merasa jijik (kotor) terhadap alat kelaminnya sendiri dan tidak dapat menikmati hubungan seksual dengan partnernya.

Oleh karena itu sikap orangtua yang benar yaitu mengusahakan agar anak merasa bahwa alat kelamin dan anus serta kotoran yang dikeluarkannya adalah sesuatu yang biasa (wajar) dan bukan sesuatu yang menjijikkan. Hal ini penting, karena akan mempengaruhi pandangannya terhadap seks nantinya. Jika terjadi hambatan pada fase anal, anak dapat mengembangkan sifat-sifat tidak konsisten, kerapian, keras kepala, kesengajaan, kekikiran yang merupakan karakter anal yang berasal dari sisa-sisa fungsi anal. Jika pertahanan terhadap sifat-sifat anal kurang efektif, karakter anal menjadi ambivalensi (ragu-ragu) berlebihan, kurang rapi, suka menentang, kasar dan cenderung sadomsokistik (dorongan untuk menyakiti dan disakiti). Karakter anal yang khas terlihat pada penderita obsesif kompulsif. Penyelesaian fase anal yang berhasil, menyiapkan dasar untuk perkembangan kemandirian, kebebasan, kemampuan untuk menentukan perilaku sendiri tanpa rasa malu dan ragu-ragu, kemampuan untuk menginginkan kerjasama yang baik tanpa perasaan rendah diri.


3. Fase Uretral

Pada fase ini merupakan perpindahan dari fase anal ke fase phallus. Erotik uretral mengacu pada kenikmatan dalam pengeluaran dan penahanan air seni seperti pada fase anal. Jika fase uretral tidak dapat diselesaikan dengan baik, anak akan mengembangkan sifat uretral yang menonjol yaitu persaingan dan ambisi sebagai akibat timbulnya rasa malu karena kehilangan kontrol terhadap uretra. Jika fase ini dapat diselesaikan dengan baik, maka anak akan mengembangkan persaingan sehat, yang menimbulkan rasa bangga akan kemampuan diri. Anak laki-laki meniru dan membandingkan dengan ayahnya. Penyelesaian konflik uretra merupakan awal dari identitas gender dan identifikasi selanjutnya.


4.      Fase Phallus (3-5 tahun)


 Pada fase ini anak mula mengerti bahwa kelaminnya berbeda dengan kakak, adik atau temannya. Anak mulai merasakan bahwa kelaminnya merupakan tempat yang memberikan kenikmatan ketika ia mempermainkan bagian tersebut. Tetapi orangtua sering marah bahkan mengeluarkan ancaman bila melihat anaknya memegang atau mempermainkan kelaminnya.

Pada fase ini, anak laki-laki dapat timbul rasa takut bahwa penisnya akan dipotong (dikebiri). Ketakutan yang berlebihan tersebut dapat menjadi dasar penyebab gangguan seksual seperti impotensi primer dan homoseksual. Pada fase ini muncul rasa erotik anak terhadap orangtua dari jenis kelamin yang berbeda. Rasa ingin tahu terhadap hal-hal yang berhubungan dengan seks tampak dalam tingkah laku anak, misalnya membuka rok ibunya, meraba buah dada atau alat kelamin orangtuanya.

 Daya erotik anak laki-laki terhadap ibunya, disertai rasa cemburu terhadap ayahnya, dan keinginan untuk mengganti posisi ayah disamping ibu, disebut kompleks Oedipus. Untuk anak wanita disebut kompleks Elektra. Kompleks elektra biasanya disertai rasa rendah diri karena tidak mempunyai kelamin seperti anak laki-laki dan merasa takut jika terjadi kerusakan pada alat kelaminnya. Bila kompleks oedipus/elektra tidak dapat diselesaikan dengan baik, dapat menyebabkan gangguan emosi pada kemudian hari.


5.      Fase Latensi (5/6 tahun-11/13 tahun)


Pada fase ini semua aktifitas dan fantasi seksual seakan-akan tertekan, karena perhatian anak lebih tertuju pada hal-hal di luar rumah. Tetapi keingin-tahuan tentang seksualitas tetap berlanjut. Dari teman-teman sejenisnya anak-anak juga menerima informasi tentang seksualitas yang sering menyesatkan. Keterbukaan dengan orangtua dapat meluruskan informasi yang salah dan menyesatkan itu. Pada fase ini dapat terjadi gangguan hubungan homoseksual pada laki-laki maupun wanita. Kegagalan dalam fase ini mengakibatkan kurang berkembangnya kontrol diri sehingga anak gagal mengalihkan energinya secara efisien pada minat belajar dan pengembangan ketrampilan.


6.      Fase genital (11/13 tahun-Dewasa)


Pada fase ini, proses perkembangan psikoseksual mencapai "titik akhir". Organ-organ seksual mulai aktif sejalan denga mulai berfungsinya hormon-hormon seksual, sehingga pada saat ini terjadi perubahan fisik dan psikis. Secara fisik, perubahan yang paling nyata adalah pertumbuhan tulang dan perkembangan organ seks serta tanda-tanda seks sekunder.

Remaja putri mencapai kecepatan pertumbuhan maksimal pada usia sekitar 12- 13 tahun, sedangkan remaja putra sekitar 14-15 tahun. Akibat perbedaan waktu ini, biasanya para gadis tampak lebih tinggi daripada anak laki-laki seusia pada periode umur 11-14 tahun Perkembangan tanda seksual sekunder pada gadis adalah pertumbuhan payudara, tumbuhnya rambut pubes dan terjadinya menstruasi, pantat mulai membesar, pinggang ramping dan suara feminin.

Sedangkan pada anak laki-laki terlihat buah pelir dan penis mulai membesar, tumbuhnya rambut pubes, rambut kumis, suara mulai membesar. Terjadi mimpi basah, yaitu keluarnya air mani ketika tidur (mimpi basah). Bersamaan dengan perkembangan itu, muncullah gelombang nafsu birahi baik pada laki-laki maupun wanita. Secara psikis, remaja mulai mengalami rasa cinta dan tertarik pada lawan jenisnya. Kegagalan dalam fase ini mengakibatkan kekacauan identitas.

Fase genital berlanjut sampai orang tutup usia, dimana puncak perkembangan seksual dicapai ketika orang dewasa mengalami kemasakan kepibadian. Ini ditandai dengan kemasaka tanggung jawab seksual sekaligus tanggung jawab sosial, mengalami kepuasan melalui hubungan cinta heteroseksual tanpa diikuti dengan perasaan berdosa atau perasaan bersalah. Pemasan impuls libido melalui hubungan seksual memungkinkan kontrol fisiologis terhadap impuls genital itu; sehinggaakan membebaskan begitu banyak energi psikis yang semula dipakai untuk mengontrol libido, merepres perasaan berdosa, dan dipakai dalam konflik antara id-ego-superego dalam menagani libido itu. Enerji itulah yang kemudian dipakai untuk aktif menangani masalah-masalah kehidupan dewasa; belajar bekerja, menunda kepuasan, menjadi lebih bertanggung jawab.


Itulah fase-fase psikoseksesual yang harus dialami oleh tiap-tiap individu. Pada dasarnya fase-fase tersebut didasari dengan suatu kenikmatan yang dirasakan oleh tubuh. Dengan mengetahui akibat-akibat yang ditimbulkan bila gagal ataupun berhasil dalam melewati tiap fase, maka hendaknya orangtua dan para pendidik dapat mengambil manfaatnya, sehingga kita dapat memberikan kesehatan mental putra-putri kita sedini mungkin.




C.    KESIMPULAN

Dalam pertumbuhan nafsu seksual manusia ada 6 fase yang dilalui yaitu: fase oral, fase anal, fase uretral, fase phallus, fasse latensi, dan fase genital. Pada dasarnya fase-fase tersebut didasari dengan suatu kenikmatan yang dirasakan oleh tubuh. Penggolongan tersebut juga bertujuan agar membantu orangtua dalam mendidik anaknya.



DAFTAR PUSTAKA

Syamsu Yusuf IN dan Juntika Nuriichsan .2007. Teori Kepribadian . Bandung .UPI .

Yusuf, Syamsu. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, Bandung: PT Remaja Rosdakarya.