Selasa, 11 April 2017

JELASKAN PERBEDAAN EN-SOI DAN POUR-SOI

JELASKAN PERBEDAAN EN-SOI DAN POUR-SOI
Paper Halaqoh
Disajikan pada 25 Pebruari 2017

PENGASUH:
Alm.  Prof. Dr. KH. Ahmad Mudlor, S.H.

Oleh :
Abdullah Mujahid
Mahasiswa Semester XII
Jurusan Hama Penyakit Tumbuhan
Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya Malang



Halaqoh Ilmiah
LEMBAGA TINGGI PESANTREN LUHUR MALANG
Pebruari 2017



A.    PENDAHULUAN

Jika kita mendalami en-soi dan pour-soi maka kita akan bertemu dengan kajian keilmuan dari filsafat dan humaniora. En-soi dan pour-soi dapat kita temukan pada dalam karya utama Sartre, yakni L’être et le nêat (Being and Nothingness), atau dalam bahasa Indonesia yakni “Ada dan Tiada” istilah tersebut merupakan buah pemikiran seorang filusuf bernama Jean Paul Sartre, beliau adalah penganut filsafat eksistensialisme. Beliau juga dipengaruhi oleh corak filsafat rasionalisme dan idealisme dari deskartes, Kant, Hegel sampai fenomologi husserl serta Martin Heidegger. Apa yang dimaksud dengan En-soi dan pour soi, maksud dan tujuanya akan dibahas pada bab selanjutnya.

B.    PEMBAHASAN

1.    Tentang Jean Paul Sartre

Jean Paul Sartre adalah tokoh Eksistensialisme yang hidup pada abad ke-20an. Dia lahir di Paris, Perancis pada tanggal 21 Juni 1905, dan meninggal pada tanggal 15 April 1980. Pada bidang pendidikan ia termasuk orang yang cukup intelektual. Pada waktu di Jerman dia bertemu dan belajar pada Husserl, yang mana ini merupakan nilai sejarah tersendiri bagi perkembangan pemikiran Sartre di kemudian hari.
Sartre sejak kecil hidup dalam lingkungan religius. Tetapi, justru kebalikannya ia anti dengan agama dan Tuhan. Dia mengembangkan filsafatnya dengan corak ateis. Corak filsafat Sartre dipengaruhi oleh Rasionalisme dan Idealisme, yakni dari Descartes, Kant, Hegel sampai fenomenologi Husserl serta Martin Heidegger. Filsuf-filsuf tersebut sangat penting nilainya bagi Sartre, namun dalam tulisannya, ia kerap melontarkan kritik-kritik terhadap mereka. Husserl, Heidegger dan Hegel mempunyai peran penting dalam karya utama Sartre, yakni L’être et le nêat (Being and Nothingness), atau dalam bahasa Indonesia yakni “Ada dan Tiada” yang berusaha memahami eksistensi manusia.

2.    Perbedaan En-soi dan Pour-Soi
Dalam karya monumentalnya tentang L’être et le nêat (Being and Nothingness) Satre memdikotomikan status ontologis manusia menjadi dua atau dua cara manusia berada di dunia yaitu, etre-en-soi (being-in-itself) yang berarti: ada-dalam-dirinya. dan Etre-Pour-Soi (being-for-itself) yang berarti: ada-bagi-dirinya.
a.)    Etre-en-soi (being-in-itself) identik dengan dirinya
disebut sebagai Ada yang tidak sadar (non-conscious-being) sehingga ia tidak mampu memberi makna pada eksistensinya. tidak aktif dan tidak negatif. Etre-en-soi itu tidak memiliki masa depan dan tidak mempunyai kemungkinan ataupun tujuan. Etre-en-soi merupakan suatu tipe eksistensi benda-benda yang tidak berkesadaran dan padat, artinya kesadaran yangmenjadi bentuk dari kehadiran diri terhadap diri sendiri Maka, etre-en-soi tidak pernah ada dan tidak pernah dapatmenempatkan dirinya sebagai ada bagi yang lain karena dia kontingen, tanpa dasar yang menopang. cara mudah memahaminya adalah Etre-en-soi adalah benda-benda, objek yang memiliki kesatuan dengan dirinya sendiri. Seperti contoh batu besar yang tetap berada pada tempatnya, tidak bertambah besar/kecil, tidak berpindah dan tidak berubah selamanya.
b.)    Etre-Pour-Soi (being-for-itself) ada-bagi-dirinya.
Lawan dari etre-en-soi menurut Sartre adalah Etre-Pour-Soi (being-for-itself) yang berarti ada bagi dirinya. Ada-bagi dirinya berkaitan dengan kesadaran bahwa manusia memiliki kesadaran akan dirinya bahwa dia ada. Kesadaran bahwa dirinya ada hendak mengatakan suatu cara berada manusia. Dengan kata lain, manusia hubungan dengan dirinya sendiri. Sehingga kesadaran manusia muncul seiring dengan hadirnya sesuatu (objek) yang ada di depannya. Namun, sesuatu yang disadari itu bukanlah dirinya. Ketidak identikan manusia dengan apa yang disadarinya menunjukkan bahwa kesadaran itu negativitas, yaitu suatu kesadaran yang menunjukkan bahwa Etre-Pour-Soi itu memiliki ciri “it is not what it is.”Artinya, ketidakidentikkan manusia dengan dirinya memiliki aspek kesadaran yang menidak. Cara mudah untuk memahami Etre-Pour-Soi adalah Ada yang berkesadaran. Bagi Sartre, manusia adalah makhluk yang membawa “ketiadaan”. Aktivitas Etre-Pour-Soi adalah menidakan apa yang ada. Sartre menyimpulkan bahwa ketiadaan muncul dengan menidakan dunia..

3.    Pengamalan En-soi dan Pour-Soi Dalam Kehidupan Manusia
Manusia sebagai en-soi adalah manusia yang tidak berkesadaran. Statusnya sama seperti kambing, sayuran, dan batu. Dia dilihat hanyalah seonggok benda saja. "Dia gelap bagi diri sendiri, karena padat dan penuh dengan diri sendiri". Apa yang ada adalah identik dengan dirinya sendiri, It is what it is. Keadan ini bersifat masif, tertutup rapat, tanpa lobang, tanpa celah, self-contained, dan tidak ada hubungan dengan apa pun juga . Menurut Sarte En-soi itu ada karena ada secara kebetulan, dan bukan ciptaan tuhan. Karena, andaikata diciptakan Tuhan maka, en-soi itu ada didalam pikiran Tuhan atau diluarnya. Bila didalam, maka belum tercipta, bila diluar maka ia bukan ciptaan karena berdiri sendiri.
Sedangkan dalam Etre-Pour-Soi manusia sudah mempunyai kesadaran tentang sesuatu diluar dirinya . Sadar akan adanya Subjek dan Objek, sadar bahwa ada jarak antara diri dan kesadaran. Dan sadar akan sesuatu, akan adanya jarak, bagi Sartre adalah meniadakan (neantiser) sesuatu. Sadar akan diri sendiri adalah meniadakan diri sendiri. Ketika menjadi pour-soi, pengada itu menjadi retak, karena ia mempunyai kesadaran.
Memang kesadaran menghubungkan subjek dengan yang bukan subyek (objek) tetapi juga memecah, meretakkan yang utuh menjadi banyak, yang padat menjadi tidak padat, yang sendiri menjadi tidak sendiri lagi. Itu semua ditiadakan (le Neant). Dia sekarang tidak identik dengan dirinya sendiri. A bukanlah A karena sadar tentang dirinya. Contohnya : ketika A sedang berbuat, dia sadar bahwa dia sedang mengadakan perubahan, peralihan, berproses untuk 'menjadi', dia sadar bahwa dia sedang melakukan peralihan itu. Peniadaan itu terjadi terus menerus, tidak pernah berhenti sebab manusia tidak pernah berhenti berbuat sesuatu. Dia selalu bukan dia, karena selalu meluncur ke dia. Dia selalu membelum. Jadi, proses itu tidak pernah selesai ,selalu meniadakan dirinya dan berusaha untuk menjadi dia yang lain. Justru karena kebebasannya bereksistensi itu dipandang sebagai sebuah kutukan, hukuman, dan keterpaksaan.
Etre-Pour-Soi selalu ingin menjadi etre-en-soi-pour-soi, sekaligus keduanya, dan itu tidak akan pernah terjadi (kalaupun ada berarti itu milik Tuhan, sesuatu yang ditolak Sartre, karena tidak mungkin en-soi dan pour-soi bersatu). Itulah kesia-siaan, dan itulah eksistensi manusia. Manusia selalu meniada dan tidak bisa tidak harus terus meniada. Tidak ada aspek membangun,tidak ada ketetapan. Proses itu adalah suatu kesia-siaan karena tidak mungkin bisa menyatu antara en-soi dan pur-soi, dan proses itu berhenti ketika kematian tiba.
Tujuan dari pengamalan tersebut dalam sisi positifnya adalah kesadaran dan kebebasan terletak pada eksistensi manusia, keberadaan manusia yang sejati, yang merupakan produk dari perbuatan-perbuatan bebas manusia. Sartre mengungkapkan bahwa menjadi diri kita sendiri hanya mungkin jika kita memilih sendiri dan menentukan sendiri bentuk eksistensi kita. Walaupun kesadaran atau kebebasan tersebut sepertinya dibebankan pada manusia yang bukan karena pilihannya, manusia tetap memiliki kebebasan yang sebebas-bebasnya untuk mengubah situasi tersebut melalui perbuatan dan usaha yang dipilih dan ditentukan oleh diri manusia sendiri. Situasi yang dibebankan kepada manusia, misalnya : berupa lingkungan yang buruk dan keras, cacat tubuh, atau pun peperangan, justru menjadi prasyarat bagi kebebasan. Kebebasan tidak mungkin terwujud tanpa situasi-situasi yang sudah tersedia atau situasi-situasi yang tidak dipilihnya sendiri.
Memang filsafat Sartre penuh oleh dilema. Sebenarnya kekacauan filsafat Sartre disebabkan oleh pandangannya yang ateis. Apa yang tidak dapat diselesaikannya itu sesungguhnya dapat diselesaikan dalam teisme. Pada akhir uraiannya tentang Sartre, Drijarkara menulis sebagai berikut (Drijakara:89):
“Bagaimanapun juga, tampaklah dalam uraian diatas, bahwa pikiran Sartre bentrokan dengan realitas. Kita akui bahwa buah pikiram Sartre memuat pandangan-pandangan yang bagus. Akan tetapi dasar-dasarnya tidak tahan uji.”

C.    KESIMPULAN

En-soi dan pour-soi terdapat dalam karya utama Jean Paul Sartre, yakni L’être et le nêat (Being and Nothingness) Ada dan Tiada. Jean Paul Sartre adalah tokoh Eksistensialisme yang hidup pada abad ke-20an. etre-en-soi (being-in-itself) yang berarti: ada-dalam-dirinya dapat dicontohkan sebagai benda mati yang tetap dan tidak berubah, sedangkan Etre-Pour-Soi (being-for-itself) yang berarti: ada-bagi-dirinya dapat dikatakan sebagai kesadaran manusia mengenai adanya dirinya sendiri.

DAFTAR PUSTAKA
Edwards, Paul (ed). The Encyclopedia of Philosophy (Vol 5-8). MacMillan Publishing Co : New York, 1972.
Hamersma, Herry. 1983. Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern.Jakarta: Gramedia
Hadiwijono, Harun. Sari Sejarah Filsafat Barat 2. Kanisius:  Yogyakarta,1980.
Najwa, Nina., 2015. Eksistensi Kesadaran Manusia, Jean Paul Sartre. Kompasiana http://www.kompasiana.com/eksistensi-kesadaran-manusia-jean-paul-sarte.html di unduh pada 23 pebruari 2017
Sartre, Jean-Paul., 1992 Being and Nothingness (the Principle text of modern existentialism). Philosophical Library, Washington:.
_______________, 2002, Eksistensialisme dan Humanisme, Pustaka Pelajar.



BAGAIMANA PEMIKIRAN AL MATURIDI TENTANG MELIHAT TUHAN

BAGAIMANA PEMIKIRAN AL MATURIDI TENTANG MELIHAT TUHAN
Halaqoh Ilmiah
Dipresentasikan pada tanggal 27 Desember 2016

Pengasuh:
Alm. Prof. DR. Kyai H. Achmad Mudlor, SH.
Oleh:
Abdullah Mujahid
Mahasiswa Semester XI
Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan
Program Studi Agroekoteknologi
Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya



 LEMBAGA TINGGI PESANTREN LUHUR MALANG DESEMBER 2016


A.    PENDAHULUAN
Kita sebagai penganut Ahl as-Sunnah wa a-Jama’ah sudah semestinya tau dalam berakidah mengikuti imam Abu hasan Al-Asy’ari dan imam Abu Manshur al-Maturidi.Teologi sebagai sebuah pembahasan ajaran-ajaran yang mendasar dari suatu agama dimana termasuk mengembangkan paham tentang Tuhan. Islam sebagai agama tentunya tidak lepas dari adanya teologi.
Pemikiran Asy’ariyah berhadapan langsung dengan keompok Mu’tazilah, tapi Maturidiyah menghadapi berbagai kelompok yang cukup banyak. Di antara kelompok yang muncu pada waktu itu adalah Mu’tazilah, Mujassimah, Qaramithah, Jahmiyah. Juga kelompok agama lain, seperti Yahudi, Majusi dan Nasranidalam jumlah yang besar. Pada paper ini akan dibahas menegenai bagaimana pemikiran Al-Maturidi tentang melihat tuhan.


B.    PEMBAHASAN
1.    Biografi Al-Maturidy
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Mahmud Abu Mansur Al-Maturidi, ia di lahirkan di sebuah kota yang bernama “maturid” didaerah Samarqand, Asia tengah (termasuk daerah Uzbekistan). Ia diperkirakan lahir pada tahun 270 H. Ia memiliki faham (I’tiqad) sama atau hampir sama dengan Imam al-Asy’ari, ia wafat di desa Maturidy 10 tahun sesudah wafatnya Imam Abu Hasan al-Asy’ari yaitu pada tahun 333 H/ 944 M beliau berjasa besar dalam mengumpulkan, memperinci, dan mempertahankan I’tiqad Ahlussunnah wal-Jama’ah itu sebagaimananya dengan Imam al-Asy’ari.
2.    Pemikiran Al-Maturidy
Dunia Islam dahulu sampai sekarang menganggap kedua Imam ini adalah pembangun manhaj Ahlussunnah wal-Jama’ah. Berkata Sayid az-Zabidi, pengarang kitab “Ittikhafus sadatul Muttaqien” yaitu kitab yang mensyarahi kitab Ihya’ ‘Ulumuddin karya Imam Ghazali;

إذ أطلق أهل السنة والجماعة فالمرادبهم الأشاعرة والماتريدية
اتحاف سادات المتقينج2ص

6
“Apabila Ahlussunnah wal jamaah disebutkan, maka yang dimaksudkan adalah pengikut madzhab al-Asy‟ari dan al-Maturidi.”[15]
Selain itu, aliran Maturidiyah merupakan salah satu dari sekte Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah yang tampil bersama dengan Asy’ariah. Kedua aliran ini datang untuk memenuhi kebutuhan mendesak yang menyerukan untuk menyelamatkan diri dari ekstrimitas kaum rasionalis di mana yang berada di barisan paling depan adalah Mu’tazilah, maupun ekstrimitas kaum tekstualis di mana yang berada di barisan paling depan adalah kaum Hanabillah (para pengikut Imam Ibnu Hambal). aliran Asy’ariyah di Irak dan Syam (Suriah) kemudian meluas ke Mesir, sedangkan aliran Maturidiyah di Samarkand dan di daerah-daerah di seberang sungai (Oxus-pen). Kedua aliran ini bisa hidup dalam lingkungan yang kompleks dan membentuk satu mazhab. Nampak jelas bahwa perbedaan sudut pandang mengenai masalah-masalah Fiqh kedua aliran ini merupakan faktor pendorong untuk berlomba dan survive. Orang-orang Hanafiah (para pengikut Imam Hanafi) membentengi aliran Maturidiyah, dan para pengikut Imam al-Syafi’i dan Imam al-Malik mendukung kaum Asy’ariyah.
Seperti yang kita ketahui, al-Maturidi lahir dan hidup di tengah-tengah iklim keagamaan yang penuh dengan pertentangan pendapat antara Mu’tazilah (aliran teologi yang amat mementingkan akal dan dalam memahami ajaran agama) dan Asy’ariyah (aliran yang menerima rasional dan dalil wahyu) sekitar masalah kemampuan akal manusia. Maka dari itu, Al-Maturidi melibatkan diri dalam pertentangan itu dengan mengajukan pemikiran sendiri. Pemikirannya itu merupakan jalan tengah antara aliran Mu’tazilah dan Asy’ariyah. Kerana itu juga, aliran Maturiyah sering disebut “berada antara teologi Mu’tazilah dan Asy’ariyah”.[18]
Al Maturidi memiliki banyak buku termasuk, “Ushul Fiqh”, “Tafsir”, “Takwil” yang dia gunakan untuk menyerang Jahmiyah dan salah satu bukunya yang terkenal yaitu “Kitab al-Tauhid”. Dalam “Kitab al-Tauhid”, tidak disebutkan tentang Tauhid Uluhiyah, pembicarannya murni tentang Tauhid Rububiyah dan sesuatu yang berhubungan kepada Tanzih
Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal dalam hal ini ia sama dengan Al-asy’ari. Menurut Al-Maturidi, mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui dua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya terhadap Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. Kalau akal tidak mempunyai kemampuan memperoleh pengetahuan tersebut, tentunya Allah tidak akan menyuruh manusia untuk melakukannya. Dan orang yang tidak mau menggunakan akal untuk memperoleh iman dan pengetahuan mengenai Allah berarti meninggalkan kewajiban yang diperintah ayat-ayat tersebut.
Namun akal menurut Al-Maturidi, tidak mampu mengetahui kewajiban-kewajiban lainnya. Dalam masalah baik dan buruk, Al-Maturidi berpendapat bahwa penentu baik dan buruk sesuatu itu terletak pada suatu itu sendiri, sedangkan perintah atau larangan syari’ah hanyalah mengikuti ketentuan akal mengenai baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian, wahyu diperoleh untuk dijadikan sebagai pembimbing.
Al-Maturidi membagi kaitan sesuatu dengan akal pada tiga macam,[21] yaitu:
1.    Akal dengan sendirinya hanya mengetahui kebaikan sesuatu itu
2.    Akal dengan sendirinya hanya mengetahui keburukan sesuatu itu
3.    Akal tidak mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu, kecuali dengan petunjuk ajaran wahyu
Jadi, yang baik itu baik karena diperintah Allah, dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini, Al-Maturidi berada pada posisi tengah dari Mutazilah dan Al-Asy’ari. Pokok-pokok ajaran al-Maturidiyah pada dasarnya memiliki banyak kesamaan dengan aliran al-Asy'ariyah dalam merad pendapat-pendapat Mu'tazilah.Perbedaan yang muncul bisa dikatakan hanya dalam penjelasan ajaran mereka atau dalam masalah cabang.
Pemikiran-pemikiran al Maturidi jika dikaji lebih dekat, maka akan didapati bahwa al Maturidi memberikan otoritas yang lebih besar kepada akal manusia dibandingkan dengan Asy’ari. Namun demikian di kalangan Maturidiah sendiri ada dua kelompok yang juga memiliki kecenderungan pemikiran yang berbeda yaitu kelompok Samarkand yaitu pengikut-pengikut al Maturidi sendiri yang paham-paham teologinya lebih dekat kepada paham Mu’tazilah dan kelompok Bukhara yaitu pengikut al Bazdawi yang condong kepada Asy’ariyah.

3.    Tentang Melihat Tuhan  (Ru’yatullah)
Maturidi menetapkan bahwa tuhan bisa dilihat mata kepala manusia nanti di akhirat, namun melihat Tuhan, kelak di akherat tidak dalam bentuknya (bila kaifa), karena keadaan di akherat tidak sama dengan keadaan di dunia.karena ia mempunyai wujud Ru’yatullah dihari akhirat termasuk perihal kiamat, hanya Allah yang mengetahui perihal kiamat. Kita ‘kata maturidi’ tidak mengetahuinya kecuali ibarat yang terdapat dalam nash. Tidak perlu kita menanyakan bagaimana caranya nanti melihat Tuhan itu. Hal ini diberitahukan oleh Al-Qur’an, antara lain firman Allah dalam surat Al-Qiyamah ayat 22dan 23.



Artinya: Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri, kepada Tuhannyalah mereka melihat. [QS. Al-Qiyamah(75:22-23)]
Sedangkan dalam melihat Tuhan di alam dunia, pendapat Al-Maturidi tidak jauh beda dengan Asy’ari bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah. Al-Maturidi juga mengedepankan Akal dan rasio karena akal dapat membantu manusia untuk memahami adanya Allah/keesaan Allah, sifat dan dzat Allah
Dalam Sifat tuhan faham Al-Maturidi cenderung mendekati faham mutzilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-Maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan mutazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.


C.    KESIMPULAN
Abu Mansur Al-Maturidi adalah pencetus aliran Al-Maturidiah pembangun manhaj Ahlussunnah wal-Jama’ah bersama Abu Hasan Al-Asy’ari. Dalam pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-Qur’an dan akal. Dalam pemikirannya tuhan bisa dilihat mata kepala manusia nanti di akhirat sedangkan di dunia kita melihat tuhan sifat-sifatNya.




DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Hanafi, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Cet. X; Jakarta:Bulan Bintang, 1993, h. 70.
Anonim. 2016. .http://abasawatawalla01.blogspot.com/2013/06/seajarah-dan-pemikiran-al-asy-dan-l.html/ diakses 25 desember pukul 08.03 WIB
Ibrahim Madkur, Fi al-Falsafat al-Islamiyah, terj. Yudian Wahyudi Asmin dengan judul, Aliran dan Teori Filsafat Islam Cet.1 ; Jakarta : Bumi Aksara, 1995.
Rozak, Abdul & Anwar, Rohison, Ilmu Kalam. CV Pustaka Setia, Bandung, 2009
Sahilun A. Nasir, PemikiranKalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, danPerkembangannya, Jakarta: RajagrafindoPersada, 2010, h. 187

Kamis, 02 Juni 2016

PERBEDAAN AJARAN MORAL DAN ETIKA


Untuk memahami moral dan etika secara praktis, diperlukan usaha memperbandingkan moral etika. Etika maupun moralitas sering diperlakukan sama sejajar dalam memberi arti terhadap sebuah peristiwa interaksi antar manusia.  Moral dan etika adalah dua hal yang sangat penting karena telah mencakup segala pengertian tingkahlaku, tabiat, perangai, karakter manusia yang baik maupun yang buruk. Sehingga mempelajari perbedaaan antara ajaran moral dan etika sangat penting. selengkapnya baca Disini

Sabtu, 28 Mei 2016

Catatan pengajian Al-hikam Alm. Romo KH. Djamaludin Achmad Tentang Hakekat Puasa

Penjelasan Tentang Hakekat Puasa

Mungkin akan timbul satu pertanyaan dalam benak kita mengapa kita di wajibkan puasa seperti pada QS.Al Baqarah Ayat 183


Jawabannya adalah agar manusia menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah SWT. Sebagai mana firman Allah bahwa puasa adalah ibadah yang memiliki keistimewaan di bandingkan ibadah yang lain yaitu bahwa puasa hanya milik Allah oleh karena itu Allah sendirilah yang mengetahui seberapa besar ganjaran yang di peroleh hamba yang berpuasa.


Pandangan  puasa dalam 3 aspek yaitu.
1.      Secara Syariat: meninggalkan makan, minum dan bersetubuh.
2.      Secara Thoriqat: menjaga semua anggota tubuh dari maksiat.
3.      Secara Hakiqat: menjaga hati jangan sampai suka/cinta pada selain allah.
Karena tujuan dari puasa adalah taqwa kepada Allah maka kita akan mengulas sedikit tentang faedahnya Taqwa di antaranya yaitu:
1.      Selalu di sertai Allah (dijaga Imannya, Hatinya Dll.) Subhanallah Yach… Hehehe.
2.      Jika kita bertaqwa insya Allah kita akan di berikan Ilmu Laduni oleh Allah… Aamiin. ^_^
3.      Selalu di beri jalan keluar oleh Allah.
4.      Akan di beri rizki dari arah yang tidak di duga-duga.
5.      Di beri ke mudahan oleh Allah
6.      Dijanjikan Masuk Surga.. Aamiin.
7.      Di jadikan orang yang mulia di Dunia maupun Akhirat.

Nah ternyata kalau kita bertaqwa akan memberikan faedah yang sangat luar biasa bagi kita nah sekarang masuk ke syarat-syarat agar menjadi orang yang bertaqwa ketika puasa yaitu
1.      Akalnya bias mengalahkan nafsu
Merupakan anugerah yang tak terhingga yang telah Allah berikan kepada kita karena kita di beri apa yang Allah tidak berikan pada makhluk lain yaitu Akal dan nafsu. Nafsu selalu mengajak kepada kita menuruti sesuatu yang di larang Allah dan Akal kita sering kalah dengan nafsu  jadi kita harus sebisa mungkin mengalahkan nafsu tersebut. Malaikat tidak bias di sebut ahli taqwa karena hanya di beri akal saja sehingga ia hanya menuruti perintah allah. Jika kita berhasil mengalahkan nafsu maka otomatis kita lebih mulia dari pada malaikat. Dan kalau kita sedang puasa akal bias mengalah kan nafsu sebab akal kita buat unuk kebaikan.
2.      Menghindari perkara yang bias meleburkan pahala puasa yaitu: Bohong, Gosip, Adu Domba, Sumpah Palsu dan Syahwat
3.      Suci secara syari’at: yaitu menjaga diri dari hadast kecil maupun besar juga najis
4.      Suci secara thoriqat: yaitu membersihkan diri dari kesenangan hati seperti senang dirinya berbuat kesalahan, senang di puji, senang menjadi pemimpin dll.
5.      Suci secara Haqiqat yaitu membersihkan hati dari sifat senang selain Allah

Kelihatannya untuk melakukan semua itu sangat sulit termasuk yang nulis tulisan ini hehe. Namun bukan tidak mungkin kita tidak bias melakukannya. Jangan pernah putus asa berdoa, meminta ampunan, rahmat dan kasih sayangNya.
Mungkin sedikit ilmu ini dapat member manfaat kepada kita semua. Aamiin. Mohon maaf jika dalam tulisan ini terdapat kesalahan
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Whritted by
El Baaz
Sumber: Pengajian Al Hikam oleh KH. Djamaludin Achmad PP. Bahrul ulum Tambakberas Jombang 27-08-2007

Senin, 29 Februari 2016

TUGAS MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN “OTONOMI DAERAH”


TUGAS MATA KULIAH KEWARGANEGARAAN“OTONOMI DAERAH”






Disusun Oleh Kelompok 7:
Abdullah Mujahid                          : 115040201111159
Afni Aulia Rahma                          : 115040201111177
Afitania Anggraini                         : 115040201111187
Adisti Zahrotul Pradesta                : 115040201111317

DosenPengampu : Mohamad Anas, M. Phl
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2012

A.    Pengertian, Tujuan, dan Dasar Yuridis Otonomi Daerah
Ø  pengertianOtonom Daerah
Otonomi daerah secara definisi adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat daerah tersebut menuurt cara mereka sendiri yang dilihat berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan aturan undang-undang yang berlaku. Otonom secara bahasa diartikan dengan berdiri sendiri atau dengan pemerintahan sendiri. Sedangkan daerah adalah sebuah wilayah atau teritorial pemerintah. Dengan demikian pengertian secara istilah otonomi daerah adalah kewenangan atau kekuasaan pada suatu daerah yang mengatur dan mengelola daerah tersebut dengan sendiri untuk mencapai tujuan masyarakat daerah tersebut. Dan bila kita lihat lebih luas lagi adalah wewenag pada suatu daerah yang mengatur dan mengelola untuk kepentingan daerah masyarakat itu sendiri mulai dari ekonomi, politik, dan pengaturan perimbangan keuangan termasuk pengaturan sosial, budaya, dan ideologi yang sesuai dengan tradisi adat istiadat daerah tersebut.[1]
http://cerdasinstitute.blogspot.com/2009/03/otonomi-daerah.html

Otonomi daerah dapat diartikan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Otonomi daerah secara sempit diartikan sebagai ”mandiri”, sedangkan dalam arti yang luas adalah ”berdaya”. Jadi otonomi daerah yang dimaksud disini adalah pemberian kewenangan pemerintahan kepada pemerintah daerah untuk secara mandiri atau berdaya membuat keputusan mengenai kepentingan daerahnya.

Ø  Tujuan Otonomi Daerah
Tujuan utama dari kebijakan otonomi daerah yang dikeluarkan tahun 1999 adalah disatu pihak membebaskan pemerintah pusat dari beban – beban yang tidak perlu menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Dilain pihak, dengan desentralisasi daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreativitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestiknya semakin kuat.
Tujuan pelaksanaan otonom daerah dapat pula diperhatikan dari beberapa hal :
1. Dari segi politik, penyelenggaraan otonomi daerah dimaksudkan untuk mencegah penumpukan kekuasaan di pusat dan membangun masyarakat yang madani, untuk menarik rakyat ikut serta dalam pemerintahan, dan melatih diri dalam menggunakan hak – hak masing – masing.
2. Dari segi pemerintahan, penyelenggaraan otonomi daerah untuk mencapai pemerintahan yang efisien.
3. Dari segi sosial budaya, penyelenggaraan otonomi daerah diperlukan agar perhatian lebih fokus kepada daerah.
4. Dilihat dari segi ekonomi, otonomi daerah perlu diadakan agar masyarakat dapat turut berpartisipasi dalam pembangunan ekonomidi daerah masing – masing.
Singkatnya tujuan pelaksanaan otonomi daerah adalah mencegah pemusatan kekuasaan, terciptanya pemerintahan yang efisien, dan partisipasi masyarakat untuk membangun di daerahnya masing – masing.[2]
Ø  Landasan Yuridis (Juridsche Grondslag)     
Landasan yuridis adalah landasan hukum yang menjadi dasar  kewenangan (bevoegdheid,  competentie) pembuatan Peraturan Daerah.  Apakah kewenangan seseorang pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak.  Dasar hukum kewenangan membentuk Peraturan Daerah sangat diperlukan.  Menurut Bagir Manan, dasar yuridis sangat penting dalam pembuatan  peraturan karena akan menunjukkan, adanya kewenangan dari pembuat  peraturan, adanya kesesuaian bentuk dengan materi yang diatur, untuk  menghindari peraturan itu batal demi hukum dan agar tidak bertentangan  dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi. Dengan demikian,  landasan yuridis merupakan dasar hukum ataupun legalitas landasan yang terdapat dalam ketentuan hukum yang lebih tinggi derajatnya.[3]


B. KRITIK TERHADAP OTONOMI DAERAH
Dalam sepuluh tahun terakhir sejak diselenggarakan kebijakan tentang desentralisasi yang bermula dari terbitnya Undang-Undang N0 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, kritik terhadap pelaksanaan otonomi daerah tidak pernah sepi.
Mantan menteri dalam negri dan Otonomi Daerah sekaligus penggagas kebijakan kebijakan desentralisasi di Indonesia,Prof Dr Ryaas Rasyid mengakui banyak kekecewaan terhadap pelaksanaan otonomi, tetapi belum sampai ada gerakan untuk mengakhiri kebijakan ini dan kembali ke system sentralisasi.
“ Artinya secara nasional kita masih memegang  kesepakatan agar pemerintahan daerah  tetap dilaksanakan berdasarkan azas otonomi. Bahwa disana sini ada ketidakpuasan dan kritik yang keras, hal itu adalah kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Namun sebagian besar kritik dan ketidakpuasan itu lebih mengarah pada implementasinya, bukan pada konsep dasar dan filosofinya,” tutur Ryaas saat menyampaikan orasi ilmiah dalam rangka Sarwono Prawiroraharjo Memorial Lecture XI di lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Menurut Ryaas pada hakekatnya kebijakan otonomi daerah merupakan jawaban terhadap kepincangan politik,ekonomi pembangunan dan social budaya yang menyertai hubungan pusat dan daerah sepanjang era orde baru. Keadaan yang terbentuk melalui UU Nomor 5/1947 tentang pokok-pokok pemerintahan Daerah telah menciptakan ketergantungan politik dan ekonomi daerah terhadap kekuasaan pemerintah pusat. Kondisi ini menurut Ryaas pada gilirannya berdampak pada terkikisnya identitas lokal berbagai daerah.
Sejalan dengan itu, ketiadaan ruang prakarsa dan kreatifitas daerah yang dipatok melalui UU nomor 5/1974 dan cara implementasinya yang bersifat otoriter telah memberi kontribusi yang signifikan bagi terbentuknya sifat pasif masyarakat dalam merespon berbagai tantangan pembangunan,”kata Ryaas.
Dia mencontohkan masyarakat hanya memberi respon aktifitas kolektif apabila ada program mobilisasi yang di prakarsai pemerintah pusat, seperti keluarga berencana, bimbingan massal sector pertanian, dan koperasi unit desa.
“ Keseragaman pendekatan pemerintah dan pembangunan di seluruh daerah mewarnai perjalanan pemerintah orde baru,” katanya. Ketika Orde Baru runtuh, salah satu  koreksi fundamental yang dilakukan menurut Ryaas adalah hubungan pusat dengan daerah, dan system pemerintahan daerah secara keseluruhan.
Implementasi Otonomi daerah bukan tanpa masalah.  Ia melahirkan banyak persoalan ketika diterjemahkan di lapangan. Banyaknya permasalahan yang muncul menunjukan implementasi kebijakan ini menemui kendala-kendala yang harus selalu dievakuasi dan selanjutnya disempurnakan agar tujuannya tercapai. Beberapa persoalan itu adalah:
  1. Kewenangan yang tumpang tindih
Pelaksanaan otonomi daerah masih kental diwarnai oleh kewenangan yang tumpang tindih antar institusi pemerintahan dan aturan yang berlaku, baik antara aturan yang lebih tinggi atau aturan yang lebih rendah. Peletakan kewenangan juga masih menjadi pekerjaan rumah dalam kebijakan ini. Apakah kewenangan itu ada di kabupaten kota atau provinsi.
  1. Anggaran
Banyak terjadi keuangan daerah tidak mencukupi sehingga menghambat pembangunan. Sementara pemerintah daerah lemah dalam kebijakan menarik investasi di daerah. Di sisi yang lain juga banyak terjadi persoalan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam penyusunan APBD yang merugikan rakyat. Dalam otonomi daerah, paradigma anggaran telah bergeser ke arah apa yang disebut dengan anggaran partisipatif. Tapi dalam prakteknya, keinginan masyarakat akan selalu bertabrakan dengan kepentingan elit sehingga dalam penetapan anggaran belanja daerah, lebih cenderung mencerminkan kepentingan elit daripada kepentingan masyarakat.
  1. Pelayanan Publik
Masih rendahnya pelayanan publik kepada masyarakat. Ini disebabkan rendahnya kompetensi PNS daerah dan tidak jelasnya standar pelayanan yang diberikan. Belum lagi rendahnya akuntabilitas pelayanan yang membuat pelayanan tidak prima. Banyak terjadi juga Pemerintah daerah mengalami kelebihan PNS dengan kompetensi tidak memadai dan kekurangan PNS dengan kualifikasi terbaik. Di sisi yang lain tidak sedikit juga gejala mengedepankan ”Putra Asli Daerah” untuk menduduki jabatan strategis dan mengabaikan profesionalitas jabatan.
  1. Politik Identitas Diri
Menguatnya politik identitas diri selama pelaksanaan otonomi daerah yang mendorong satu daerah berusaha melepaskan diri dari induknya yang sebelumnya menyatu. Otonomi daerah dibayang-bayangi oleh potensi konflik horizontal yang bernuansa etnis
  1. Orientasi Kekuasaan
Otonomi daerah masih menjadi isu pergeseran kekuasaan di kalangan elit daripada isu untuk melayani masyarakat secara lebih efektif. Otonomi daerah diwarnai oleh kepentingan elit lokal yang mencoba memanfaatkan otonomi daerah sebagai momentum untuk mencapai kepentingan politiknya dengan cara memobilisasi massa dan mengembangkan sentimen kedaerahan seperti ”putra daerah” dalam pemilihan kepala daerah.
  1. Lembaga Perwakilan
Meningkatnya kewenangan DPRD ternyata tidak diikuti dengan terserapnya aspirasi masyarakat oleh lembaga perwakilan rakyat. Ini disebabkan oleh kurangnya kompetensi anggota DPRD, termasuk kurangnya pemahaman terhadap peraturan perundangan. Akibatnya meski kewenangan itu ada, tidak berefek terhadap kebijakan yang hadir untuk menguntungkan publik. Persoalan lain juga adalah banyak terjadi campur tangan DPRD dalam penentuan karir pegawai di daerah.
  1. Pemekaran Wilayah
Pemekaran wilayah menjadi masalah sebab ternyata ini tidak dilakukan dengan grand desain dari pemerintah pusat. Semestinya desain itu dengan pertimbangan utama guna menjamin kepentingan nasional secara keseluruhan. Jadi prakarsa pemekaran itu harus muncul dari pusat. Tapi yang terjadi adalah prakarsa dan inisiatif pemekaran itu berasal dari masyarakat di daerah. Ini menimbulkan problem sebab pemekaran lebih didominasi oleh kepentingan elit daerah dan tidak mempertimbangkan kepentingan nasional  secara keseluruhan.
  1. Pilkada Langsung
Pemilihan kepala daerah secara langsung di daerah ternyata menimbulkan banyak persoalan. Pilkada langsung sebenarnya tidak diatur di UUD, sebab yang diatur untuk pemilihan langsung hanyalah presiden. Pilkada langsung menimbulkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan suksesi kepemimpinan ini. Padahal kondisi sosial masyarakat masih terjebak kemiskinan. Disamping itu, pilkada langsung juga telah menimbulkan moral hazard yang luas di masyarakat akibat politik uang yang beredar. Tidak hanya itu pilkada langsung juga tidak menjamin hadirnya kepala daerah yang lebih bagus dari sebelumnya.[4]

C. Studi Kasus Munculnya Etnosentris
ETNOSENTRISME, yaitu suatu kecendrungan yang menganggap nilai-nilai dan norma-norma kebudayaannya sendiri sebagai suatu yang prima, terbaik, mutlak, dan dipergunakannya sebagai tolok ukur untuk menilai dan membedakannya dengan kebudayaan lain.
Etnosentrisme nampaknya merupakan gejala sosial yang universal, dan sikap yang demikian biasanya dilakukan secara tidak sadar. Dengan demikian etnosentrisme merupakan kecendrungan tak sadar untuk menginterpretasikan atau menilai kelompok lain dengan tolak ukur kebudayaannya sendiri. Sikap etnosentrisme dalam tingkah laku berkomunikasi nampak canggung, tidak luwes.Akibatnya etnosentrisme penampilan yang etnosentrik, dapat menjadi penyebab utama kesalah pahaman dalam berkomunikasi.
Terdapat 2 jenis etnosentris yaitu: 1. etnosentris infleksibel yakni suatu sikap yang cenderung bersifat subyektif dalam memandang budaya atau tingkah laku orang lain, 2. Etnosentris fleksibel yakni suatu sikap yang cenderung menilai tingkah laku orang lain tidak hanya berdasarkan sudut pandang budaya sendiri tetapi juga sudut pandang budaya lain. tidak selamanya primordial merupakan tindakan salah. akan tetapi bisa disaja dinilai sebagai sesuatu yang mesti dipertahankan. dalam sudut pandang ajaran (ritual) misalnya. prilaku primordialisne merupakan unsur terpenting, saat memberlakukan ajaran intinya.
Begini, fitrahnya manusia itu memang terlahir dengan kemampuan untuk membedakan apa yang ada di sekitarnya. Justru akan membawa petaka ketika kita tak mampu mencari persamaan dan perbedaan dengan orang lain di lingkungan sosial. Kategorisasi sosial merupakan usaha fitrah manusia ketika harus berinteraksi dengan sekian banyak orang.
Contoh paling mudah, coba kita ingat lagi momen ketika baru masuk SMA atau kuliah.Dalam menghadapi lingkungan baru dengan banyak orang yang tidak dikenal, kita cenderung mencari orang yang ‘dirasakan’ cocok dengan kita.Mengapa saya memberikan tanda petik untuk kata dirasakan?Karena hal itu sifatnya subjektif. Kecocokan itu bisa berasal dari obrolan yang nyambung, kesamaan gaya berpakaian, atau kesamaan karena sama-sama dimarahi oleh kakak kelas.
Saya ambil contoh kasus pada pilkada DKI Jakarta. Secara kasat mata, kelihatannya proses memilih akan dilakukan oleh warga Jakarta. Tapi tunggu dulu, sebenarnya justru para calon Gubernur yang memilih pemilihnya.Lho kok bisa? Begini, dalam masa kampenye, para calon Gubernur sebenarnya sedang melakukan kategorisasi sosial dengan cara melakukan identifikasi diri mereka terhadap kelompok sosial yang ada di Jakarta. Bang Foke-Nara misalnya, mencoba berpakaian gamis dan berpeci, agar stereotipenya bisa masuk pada alim ulama yang agamis. Mereka mencoba memilih pemilih yang berbasis Islam. Sementara Jokowi-Ahok, berbaju kotak-kotak dengan lengan digulung, untuk menciptakan stereotipe tipe pemimpin pekerja keras dan pemimpin yang merakyat. Sasaran mereka adalah kaum urban Jakarta.
Namun warga Jakarta tidak pasif menunggu ‘dipilih’ oleh sang kandidat. Warga Jakarta tentu saja juga mencari informasi mengenai kompetensi dan pengalaman sang kandidat. Warga yang menginginkan perubahan merasa lebih cocok dengan pasangan Jokowi-Ahok.Sementara warga yang merasa Jakarta sudah cukup baik sehingga tidak perlu ada perubahan signifikan, berafiliasi secara ideologi dengan Foke-Nara. Pada tahap ini, muncul apa yang dinamakan ingroup dan outgruop dalam istilah psikologi sosial. Salah satu ciri ingroup/outgroup adalah membanding-bandingkan dan cenderung akan selalu menilai kelompoknya (ingroup) lebih baik dari kelompok lain. Jika ada hal positif dari kelompok lain, mereka justru menilai hal tersebut sebagai ancaman terhadap eksistensi kelompoknya sehingga harus disaingi dan diusahakan agar menjadi milik kelompoknya. Pembelaan terhadap kelompoknya bisa timbul dalam reaksi yang berlebihan.
Misal, keberhasilan Jokowi-Ahok dalam memimpin di kota sebelumnya tentu menjadi ancaman untuk Foke-Nara dan pendukungnya. Jadi jangan heran jika muncul berbagai macam informasi yang mencoba menepis keberhasilan tersebut. Sebaliknya, pembelaan pendukung Jokowi-Ahok ketika kubunya diserang bisa jadi terlihat berlebihan, dengan cara menjelek-jelekkan Foke secara personal dan sebagainya. Isu perbedaan suku dan agama juga akan dihembuskan, karena kesamaan agama dan suku masih dianggap oleh sebagian orang sebagai faktor kenyamanan dalam berinteraksi sosial.

DAPUS
Kritik Otonomi Daerah Pada Implementasi ( Kompas, 22 Agustus 2011) Jakarta, Kompas.Com
Tim Peneliti Universitas Hasanuddin , 2009. Esensi Dan Urgensitas Peraturan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah online http://www.scribd.com/document_ downloads/direct/51114746?extension=pdf&ft=1354719550&lt= 1354723160&uahk=JvPdQuywC5fpOTulIT/2d79xMT0






[3] Tim Peneliti Universitas Hasanuddin , 2009. Esensi Dan Urgensitas Peraturan Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah




[4] KRITIK OTONOMI DAERAH PADA IMPLEMENTASI ( KOMPAS, 22 agustus 2011) Jakarta, kompas.com